Misteri Batu Megalith “Gunung Padang” di Jawa Barat, “Stone Henge” Versi Indonesia

“Situs Gunung Padang, situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa sumber merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, terletak di Kabupaten Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi, religiusitas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.”
*
Type of research  : Geology & Archeology
Search research    : The Indonesian Megaliths
Location                    : Cianjur regent, West Java Province.
Sub Location          : Karyamukti village, Campaka sub-district.
Village                         : between Gunungpadang backwoods & Panggulan.
Coordinate              : 6°59’36.9035”S – 107°3’22.6264”E
===========================================


Kalau Inggris punya Stone Henge, Perancis punya batu batu Carnac, Laos punya batu batu Guci dan Mikronesia punya Nan Madol, maka Indonesia juga punya situs megalitikum Gunung Padang, yang berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Wilayah ini bukan berada di Sumatera Barat namun ada di Jawa Barat. Dinamakan Gunung Padang, berdasarkan kata “padang” berasal dari beberapa suku kata, yaitu :
- Pa = Tempat
- Da = Besar/gede/agung/raya
- Hyang =Eyang/moyang/biyang/leluhur agung
Jadi arti kata “Padang” itu adalah Tempat Agung para Leluhur atau boleh jadi maknanya Tempat para Leluhur Agung.
Situs Megalitikum Gunung Padang diperkirakan dibangun pada 2000 SM atau sekitar 2.800 tahun sebelum Candi Borobudur dibangun.
Situs Gunung Padang terletak di puncak sebuah bukit, untuk mencapainya dari dasar, pengunjung harus meniti tangga curam setinggi -+ 95 meter terbuat dari tiang-tiang batuan andesit sebanyak hampir 400 anak tangga.
Luas kompleks “bangunan” kurang lebih 900 m². Penduduk setempat mengaitkannya dengan Prabu Siliwangi, meskipun sebenarnya situs tersebut jauh lebih tua dari  buyutnya Siliwangi itu sendiri.
Situs Gunung Padang merupakan Punden Berundak yang tidak simetris, berbeda dengan punden berundak simetris seperti Borobudur, juga berbeda dengan punden berundak simetris lainnya yang ditemukan di Jawa Barat seperti situs Lebak Sibedug di Banten Selatan.
Sebuah punden berundak tidak simetris menunjukkan bahwa pembangunan punden ini mementingkan satu arah saja ke mana bangunan ini menghadap.
Lokasi situs Gunung Padang berada di titik 06°59,522′ LS dan 107°03,363 BT. Situs Gunung Padang terdiri atas lima teras (tingkatan). Dasar situs terdapat di ketinggian 894 m dpl, data setiap teras adalah sebagai berikut:
1. Teras pertama (1st terrace) berada pada ketinggian 983 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 335° UT,
2. Teras kedua (2nd terrace) berada pada ketinggian 985 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 337° UT,
3. Teras ketiga (3rd terrace) berada pada ketinggian 986 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 335° UT,
4. Teras keempat (4th terrace) berada pada ketinggian 987,5 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 330° UT,
5. Teras kelima (5th terrace) berada pada ketinggian 989 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 345° UT.
Untuk lebih jelasnya mengenai teras-teras tersebut, anda bisa membaca dibagian bawah artikel tentang kelima teras-teras di Gunung Padang Cianjur tersebut.
Berdasarkan data di atas, tinggi punden berundak situs Gunung Padang adalah 95 meter dengan arah utama teras menuju utara baratlaut dengan rata-rata azimut 336,40 ° UT.
Seluruh teras situs Gunung Padang ini mengarah kepada Gunung Gede (2950 m dpl) yang terletak sejauh sekitar 25 km dari situs ini.
Bahan bangunan pembuat situs adalah batu-batu besar andesit, andesit basaltik, dan basal berbentuk tiang-tiang dengan panjang dominan sekitar satu meter berdiameter dominan 20 cm.
Tiang-tiang batuan ini mempunyai sisi-sisi membentuk segibanyak dengan bentuk dominan membentuk tiang batu empat sisi (tetragon) atau lima sisi (pentagon).
Setiap teras mempunyai pola-pola bangunan batu yang berbeda-beda yang ditujukan untuk berbagai fungsi. Teras pertama merupakan teras terluas dengan jumlah batuan paling banyak, teras kedua berkurang jumlah batunya, teras ke-3 sampai ke-5 merupakan teras-teras yang jumlah batuannya tidak banyak.
Situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh peneliti kepurbakalaan zaman Belanda: N.J. Krom. Laporan pertama tentang Gunung Padang muncul dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Hindia Belanda tahun 1914 (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie).
N.J. Krom tidak melakukan penelitian mendalam atasnya, hanya menyebutkan bahwa situs ini diperkirakannya sebagai sebuah kuburan purbakala. Situs ini kemudian dilaporkan kembali keberadaannya pada tahun 1979 oleh penduduk setempat kepada pemilik kebudayaan dari pemerintah daerah.
Pada waktu itu, situs megalith ini dikenal oleh penduduk dengan nama “Goenoeng Manik Lampengan“.
Sejak itu, situs ini telah diteliti cukup mendalam secara arkeologi meskipun masih menyisakan berbagai kontroversi. Para ahli arkeologi sepakat bahwa situs ini bukan merupakan sebuah kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914), tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan.

Megalith Padang Hills (Gunung Padang) West Java Indonesia
Pengamatan di lapangan; pengukuran posisi, ketinggian dan azimut setiap teras, pengolahan data posisi situs menggunakan program astronomi (arkeoastronomi), memperhatikan semua keterangan para interpreter serta diskusi-diskusi para ahli telah membawa kepada sebuah kesimpulan yang pada intinya adalah bahwa situs megalitikum Gunung Padang adalah sebuah situs megalitikum prasejarah yang dibangun untuk keperluan penyembahan dan dibangun pada posisi yang telah memperhatikan geomantik dan astromantik.
Tentang umurnya, ada yang berpendapat bahwa situs ini dibangun pada masa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad ke-15 karena ditemukan guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu.
Tetapi para ahli arkeologi berpendapat bahwa situs ini umurnya adalah 1500 tahun sebelum Masehi (SM) bahkan mungkin lebih dari 5000 tahun sebelum masehi, berdasarkan bentuk monumental megalit dan catatan perjalanan seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda, Bujangga Manik, yang semasa dengan Prabu Siliwangi, menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.
Dan, tidak mungkin Bujangga Manik tidak tahu kalau situs ini dibangun oleh Kerajaan Sunda sebab ia pun seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda. Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Kebanyakan artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada saat Kebudayaan Dongson (500 SM) berlangsung (Sukmono, 1977, 1990).

Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geologi sebab ia dibangun dengan memanfaatkan sebuah bukit punggungan/ puncak lava andesit basaltik dan lava basaltik berumur Pliosen (2,1 juta tahun, lihat peta geologi lembar Cianjur – dipetakan oleh Mang Okim, 1973, direvisi 2003 dan lembar Sindangbarang) yang terbuat dari tiang-tiang batuan andesit dan basal yang telah terlepas secara alami karena retakan oleh pendinginan lava (kekar tiang, columnar jointing). Batu-batu tiang ini kemudian ditambang oleh manusia pada zaman itu untuk membangun punden berundak-undak.
Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geomantik untuk tujuan religiositas berupa penyembahan Sang Hyang atau sang penguasa alam saat yang oleh manusia pada masa itu diyakini bermukim di puncak Gunung Gede.
Gunung dalam kosmologi agama purba Jawa adalah personifikasi pemberi dan pengambil (Magnis-Suseno, 2006). Ia pemberi kesuburan tanah yang menumbuhkan tanaman untuk dimakan, tetapi ia juga adalah sang pengambil yang letusannya bisa membinasakan siapa saja. Maka gunung harus disembah agar ia tak marah dan selalu memberi berkah.
Bahwa situs ini dipakai untuk tempat penyembahan dengan orientasi sang penguasa Gunung Gede dibuktikan oleh kelima teras situs ini dari yang paling rendah (teras 1) sampai yang paling tinggi (teras 5) selalu diarahkan ke Gunung Gede yang posisinya berada pada arah azimut rata-rata 336,40 ° UT.
Pembangunan situs ini juga, terutama di teras 1 telah cukup memperhatikan masalah kelabilan area ini yaitu dengan cara menyusun tiang-tiang batu secara mendatar dan saling menumpuk untuk penguatan.
Dalam hubungannya dengan penyembahan, situs ini pun dapat dibangun untuk maksud agar manusia dijauhkan dari bencana gempa atau gunung api yang memang sumber-sumbernya tidak jauh dari Gunung Padang.
Teras-1, terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu. (courtesy: Cornel Aji)
Di teras 2 terdapat dua menhir dan satu dolmen kecil yang kelihatannya dipakai untuk duduk, dan itu tepat mengarah ke puncak Gunung Gede. Arah azimut rata-rata ini pun membentuk kelurusan dengan semua bukit/gunung yang ada di sekitar Gunung Padang yaitu : Pasir Pogor, Gunung Kancana, Gunung Gede, Gunung Pangrango.
Situs Gunung Padang pun secara geologi berada pada area yang secara kegempaan cukup aktif, yaitu tidak jauh dari Sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar besar yang memanjang dari Teluk Pelabuhanratu sampai sekitar Padalarang.
Bila ada pengaktifan gaya geologi di sekitar Teluk Pelabuhanratu atau Jawa Barat Selatan, maka sesar ini sering menjadi media penerus gaya goncangan gempa. Beberapa menhir yang terguling dan patah di area situs ini diperkirakan diakibatkan gempa.
Tidak seperti banyak situs megalitikum lainnya (seperti Piramida, Stonehenge, Machu Picchu) yang dibangun untuk menyembah atau mengindahkan (dewa) Matahari, situs Gunung Padang dibangun untuk diorientasikan seluruhnya kepada Gunung Gede.
Ini nampak dari pola bangunan punden berundaknya yang asimetris, tidak dibangun simetris ke semua sisi seperti Candi Borrobudur, tetapi hanya ke satu sisi, yaitu Gunung Gede. Dengan demikian, Gunung Gede menempati posisi geomantik yang sangat kuat bagi situs Gunung Padang.
Yang unik dari situs megalitik Gunung Padang adalah ditemukannya bilah-bilah batuan yang diperuntukkan sebagai alat musik. Ini adalah penemuan pertama di Indonesia.
Dahlan dan Situngkir (2008) dari Bandung Fe Institute berbekal alat perekam dan analisis Fourier transform pernah meneliti musikologi situs ini dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga bilah batu yang bisa mengeluarjan nada musik dengan dentingan (pitch) berfrekuensi dari 2600-5200 kHz selaras dengan nada-nada f”’, g”’, d”’, a”’.
Jika batu basal kecil dipukul-pukulkan ke alat musik batu ini, maka akan terdengar dentingan yang tinggi dan teratur dari batu ini. Dapat dibayangkan bahwa manusia pada zaman dahulu ini melakukan penyembahan dengan iringan musik-musik batu. Menurut cerita, konon penduduk kampung di bawah situs ini masih suka mendengarkan riuh musik dari bukit ini pada malam-malam tertentu.
Secara astronomis, situs Gunung Padang pun mempunyai harmoni dalam naungan bintang-bintang di langit. Analisis astronomi menggunakan program ‘planetarium’ menunjukkan bahwa posisi situs ini pada pada masa prasejarah (pemrograman dilacak sampai ke tahun 100 M) berada tepat di bawah bagian tengah lintasan padat bintang di langit berupa jalur Galaksi Bima Sakti.
Dan, lokasi situs Gunung Padang pun di sisi atas dan bawah kaki langitnya masing-masing ‘dikawal’ oleh dua rasi yang merupakan penguasa dunia bawah (Bumi) yaitu rasi Serpens (ular) dan dunia atas (Langit) yaitu rasi Aquila (elang). Secara kosmologis, para pembangun situs ini telah memperhatikan tata langit di atasnya.
Bila situs ini benar dibangun pada masa prasejarah, pembangunannya adalah ras Austronesia yang merupakan pendatang pertama di Indonesia. Mereka melintasi Nusantara dari tanah asalnya dengan cara berlayar, dan penguasaan ilmu perbintangan/falak adalah salah satu hal mutlak dalam pelayaran antarpulau. Mungkin juga bahwa situs ini digunakan untuk menjadi tempat pengamatan bintang pada masa lalu.


Situs Gunung Padang ini adalah situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa sumber merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, bahkan di Asia – Pasifik!
Tak disangka situs yang terletak di Kabupaten Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi, religiusitas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.
Begitu hebatnya nenek moyang bangsa Indonesia dimasa lalu hingga situs berharga ini bagaikan dunia yang hilang lalu ditemukan dan kini mulai diselidiki.
Lebih Dekat Dengan Lima Teras di Gunung Padang Cianjur.
Puncak Situs Megalitikum Gunung Padang di kabupaten Cianjur, Jawa Barat memiliki 5 teras. Masing-masing teras memiliki susunan menhir rapi dari batuan andesit yang berbobot ratusan kilogram.
Bagaimana gambaran detil masing-masing teras di situs yang diduga piramida yang lebih tua daripada piramida di Mesir ini? Mari kita melihat tiap teras situs seluas 4.000 meter persegi yang berada di ketinggian 885 mdpl itu.
Berikut kelima teras yang ada di Gunung Padang tersebut:
Teras 5 (5th terrace)
Di teras tertinggi ini terdapat begitu banyak susunan batuan andesit. Ada satu susunan batu yang berbentuk kotak. Di dalam kotak terlihat batuan tersusun tidur menyerupai teras. Sementara tiap sisi dikelilingi menhir. Belum diketahui apa fungsi susunan batu tersebut untuk manusia periode megalitikum saat itu.
Menurut Zaenudin (30), salah seorang arkeolog dari Universitas Indonesia (UI), saat ditemui detikcom di lokasi, ruangan kotak tersebut biasa digunakan untuk pandaringan (tempat istirahat). Terdapat tapak bulat untuk sandaran kepala yang menghadap ke utara ke arah Gunung Gede.
Teras 4 (4th terrace)
Di teras ini terdapat ruang kotak yang dikelilingi menhir. Posisi ruang tersebut berada di bagian timur situs. Di bagian tengah ruang terdapat menhir. Para penjaga situs menyebutnya sebagai ‘batu gendong’.
“Barang siapa yang mampu mengangkat batu itu, permohonannya akan terkabul,” ucap Dadi (50), salah satu penjaga situs yang sudah bekerja selama hampir 11 tahun.
Teras 3 (3rd terrace)
Teras ini pun serupa dengan teras 4. Terdapat ruang kotak yang dikelilingi menhir di tiap sisinya. Letaknya pun sama, berada di bagian timur situs. Sementara batuan lain yang berada di teras ini tidak jelas bentuknya, sebagian berdiri tegak sebagian lagi melintang.
Teras 2 (2nd terrace)
Di tingkat situs megalitikum ini terlihat jumlah menhir yang ada lebih banyak dari puncak. Namun tidak terlihat bentuk ruang kotak seperti yang ditemukan di teras 3, 4, dan 5.
Ada yang menarik, salah satu batu terdapat guratan menyerupai kujang. Menurut arkeolog UI yang meneliti gunung Padang ini, Ali Akbar, guratan tersebut merupakan murni bagian dari proses alam dan bukan karya tangan manusia.
Di teras ini pun terdapat batu duduk yang menghadap ke utara. Kursi batu itu juga memiliki sandaran, namun sandaran kursi batu tersebut sekarang condong ke belakang. “Akibat pohon yang ditebang, jadinya condong ke belakang,” kata Zaenudin.
Teras 1 (1st terrace)
Inilah teras yang biasa disebut teras penyambutan setelah pengunjung bersusah payah menaiki anak tangga berjumlah 300-an.
Di bagian ini terdapat gundukan menhir, di sebelah timur terdapat batu gong dan batu gamelan. Disebut demikian karena batuan ini berbeda dengan batuan yang ada, keduanya mengeluarkan nada bila dipukul dengan batu ukuran sekepal. Yang pasti, nada yang dikeluarkan bukan do re mi fa so la si do.
Tidak jauh dari dua batu bernada, terdapat ruang kotak. Saat pengunjung berhasil menapaki teras pertama, serasa diarahkan masuk ke ruang berbentuk kotak yang tiap sisinya tersusun menhir.
Terdapat gerbang masuk dan keluar yang tidak jauh dari batu gong dan gamelan.
“Katanya ruangan itu untuk penyambutan mereka yang naik ke sini. Sambil sesaji ada alunan musiknya,” terang Zaenudin.
Sementara gundukan menhir, lanjut Zaenudin, biasa disebut gunung masjid. “Karena diperkirakan ibadahnya dulu di sini,” ujarnya.
Untuk menaiki tiap teras, terdapat tangga-tangga yang terbuat dari susunan batu. Dari teras pertama ke teras dua akan disambut oleh gundukan menhir.
“Dulu gunungan ini bisa dibilang paling tinggi dan paling sakral, sehingga orang yang naik ke teras dua harus berbelok dan tidak menginjak gunungan itu,” ujar Zaenudin.
Susunan menhir ini, memang langsung berhadapan ke Gunung Gede. Ini berbeda dengan teras lainnya yang terhalang ketika menghadap ke utara. (geologi.iagi.or.id/kaskus.us/detiknews/icc.wp.com)