“Pengujian Geolistrik oleh
team Turangga Seta bersama LIPI dan BPPT sudah selesai dan hasilnya
positif Pyramid, setelah pengujian maka tahap berikutnya adalah
penyingkapan tanah penutup lokasi, semoga dalam waktu dekat kita
berhasil mengadakan negosiasi dgn pejabat terkait utk membuka kebesaran
leluhur kita.” (Turangga Seta, February 12, 2011)
*
Type of research : Geology & Archeology
Search research : The Indonesian Pyramid
Location : West Java Region
Sub Location : Lalakon Hill and Sadahurip Hill
===========================================
- Lalakon Hill (lat=-6.9585052 : lon=107.5204039)
Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung, West Java. - Sadahurip Hill (lat=-7.1799258 : lon=108.0416107)
Desa Cicapar Pasir, Kabupaten Garut, West Java. Sada=bunyi (sound), Hurip=kehidupan (life). Sadahurip = Bunyian Kehidupan (sound of life)
*
Dahulu kala, seluruh badan Candi
Borobudur tertimbun oleh tanah dan abu vulkanik dan terlihat sebagai
bukit yang menyerupai piramid. Setelah dibongkar, terlihatlah sebuah
Candi Buddha terbesar di dunia tak terkalahkan hingga kini.
Menurut National Geographic, bentuk
Candi Borobudur adalah piramid, sama seperti piramid di Giza Mesir dan
piramid Kukulcan di kompleks Chichén Itzá Mexico.
Masih menurut National Geographic,
masih ada beberapa bangunan kuno berbentuk piramid di dunia yang belum
terbongkar. Sejarah candi Borobudur tersebut adalah suatu bukti yang
NYATA atas bukit piramid dimasa lalu.
Persiapan Penelitian
Senin 28 Februari 2011, Mentari nyaris
berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan
Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa
yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil
mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak
Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin,
Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di
ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik
memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung.
Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter
(alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng,
masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
.
Turangga Seta
Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones,
awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan
atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang
di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004,
digawangi oleh sekelompok profesional di berbagai bidang. Ada pengajar,
kontraktor bangunan, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta,
juga mahasiswa. Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap
kehadiran gaib, atau istilah keren mereka: parallel existence.
“Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology, tapi Menyan Institute of Technology,”
kata anggota Turangga Seta Hery Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam
melakukan perburuan terhadap situs sejarah, kadang mereka mendapat
sokongan informasi lokasi dari ‘informan tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah
anak-anak yang mengenyam pendidikan tinggi, dorongan mereka membuktikan
informasi tersebut, mengalir deras. Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa mereka.
.
Penelitian
Setelah mereka menemukan benda sejarah
yang mereka maksud, lalu mereka menimbunnya kembali, tanpa diketahui
oleh masyarakat umum. “Kami khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung
Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah
piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran
mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa
kebudayaan Nusantara lebih tua daripada Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau
Maya. Mereka haqul yakin Indonesia memiliki situs candi atau piramida
yang lebih banyak dan lebih megah dari peradaban Mesir dan Maya.
“Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang.
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak
orang mengernyitkan dahi. Turangga Seta sempat mem-post keyakinan
mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online.
lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan
tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi tertawa,” kata Agung berapi-api.
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa
juga tidak. Usai pengujian geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti
yang datang bersama Agung cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang
peneliti. Mereka adalah peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar
geolog ternama, yang kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang
atas nama pribadi, kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
“Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah. “Ini mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu
melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu adalah struktur buatan
manusia, karena proses alamiah sepertinya tak mungkin menghasilkan pola
batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.
Salah satu pakar geologi yang turut dalam
penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta awalnya ia
menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur bangunan
mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara tersirat
ia mengakui hal itu.
“Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar, Rabu 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa menyimpulkan
apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke
Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji
bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa
Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik
di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut,
mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya
sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo. Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada
ratusan piramida lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu
pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy Hartadi, dalam laman Facebook
mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Klaim penemuan sebuah piramida
tersembunyi di dalam bukit, tak hanya terjadi di Indonesia. Klaim ini
juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006, seorang pengarang bernama Semir Osmanagic
mengklaim penemuan ini, dan sempat mengatakan mereka menemukan piramida
tersembunyi di bukit Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut
Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida
itu melibatkan arkeolog dari Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia
dan Slovenia. Namun, beberapa arkeolog yang disebut Osmanagic menolak
klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs
Archaeology.org, arkeolog dari Kanada yang disebut Osmanagic, Chris
Mundigler mengaku tak pernah mendukung atau setuju bekerja di proyek
tersebut. “Skema ini adalah sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan,” kata pernyataan resmi dari Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara geomorfologis, bentuk
Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip di Garut memang
memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka memiliki empat sisi
yang nyaris simetris.
“Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk mendapatkan kesimpulan akhir.
Langkah selanjutnya adalah penggalian percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
“Tapi ini harus betul-betul
penggalian arkeologi yang meminta izin kantor suaka purbakala dan
melibatkan arkeolog, karena harus ada pertanggung jawaban dan laporan,
dari mili ke mili (milimeter, red),” kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,” kata Agung.
***
Gunung Lalakon
Gunung Lalakon dikelilingi beberapa bukit
lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit
Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki
manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama
atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya
bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak
dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.
Sementara itu, di Gunung Lalakon juga
terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu
Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang
yang terletak di atas puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat
Kampung Badaraksa, secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang
sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan
berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap
disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon
mencari pesugihan. Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat
itu, dulu banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon
secara rutin juga digelar acara ritual tolak bala, yakni dengan membuat
nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya setiap tanggal 1 Syuro.”
.
Gunung Sadahurip
Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip relatif lebih ‘modern’.
Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung
Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. Masyarakat sekitar juga
tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu di masa lalu.
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, mengatakan di Tatar Sunda
yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI, dan sebagian Provinsi Jawa
Tengah, terutama dataran tinggi seperti Banten Selatan, Cianjur,
Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor, banyak ditemukan
peninggalan budaya megalitikum.
Tinggalan-tinggalan itu di antaranya berupa batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik. (baca: Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia)
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha, yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda (669-1579 M), tempat suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan analisa.
“Saya menduga bahwa bukit berbentuk
piramida ini, adalah mandala (daerah pertapaan berupa dusun mandiri yang
terletak di tempat terpencil), yang sudah tercampur dengan budaya yang
datang kemudian (yaitu Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya
yang tersembunyi di balik bukit berbentuk piramid itu, kata Nina, para
geolog harus bekerjasama dengan para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***
Sampai ke Istana Presiden
Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden.
Seorang pejabat di lingkaran presiden, mengaku telah dilaporkan ihwal
riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya,
menimbang riset yang belum rampung.
“Ya, saya sudah lihat analisis
geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga
dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh
para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur
berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga
menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak
juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.
Dia pun menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis
tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi
itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan
mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.
*
Pihak Asing Berniat Ungkap Misteri Piramida Garut
“Piramida di Sadagurip diduga lebih tua dan lebih besar dari Piramida Giza di Mesir.”
Selasa 29 November 2011, Riset patahan
aktif di Jawa Barat untuk mempelajari bencana di zaman purba berujung
pada penemuan mengejutkan: keganjilan berupa struktur piramida di Gunung
Sadahurip, Garut, Jawa Barat.
Diperkirakan besar dan usianya melampaui
Piramida Giza di Mesir – yang diyakini sebagai makam Firaun, Dinasti
keempat Mesir, Khufu, yang dibangun selama lebih dari 20 tahun pada
kurun waktu sekitar tahun 2560 sebelum Masehi.
Kini, misteri piramida di Garut, Jawa
Barat diharapkan akan segera terkuak. Anggota Tim Bencana Katastropik
Purba yang dibentuk Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial
dan Bencana, Iwan Sumule mengatakan, sejumlah peneliti dan arkeolog
asing telah menawarkan bantuan dalam proses eskavasi.
“Termasuk dari Prancis, Amerika Serikat,
dan Belanda menyatakan minat untuk membantu eskavasi,” kata dia saat
dihubungi pada Selasa 29 November 2011.
Dia menambahkan, berdasarkan hasil
survei, didukung sejumlah data, termasuk hasil foto IFSAR – lima meter
di atas permukaan tanah, nyata ditemukan adanya struktur piramida yang
adalah buatan manusia.
“Semua aspek sudah diteliti, termasuk carbon dating.
Di Gunung Sadahurip itu menunjukkan umur batuan 10.000 tahun lebih.
Artinya kalau Piramida Giza di Mesir berusia sekitar 3.000 tahun sebelum
masehi, kita (Garut) 10.000 tahun,” tambah dia. “Hasil tes karbon tak
bisa ditipu.”
Besarnya pun melampaui piramida di Mesir.
Menurut Iwan, tinggi piramida Garut diperkirakan 200 meter. “Makanya
kami perkirakan, lebih tinggi dan lebih tua tiga kali lipat dari
Piramida Giza di Mesir.”
Peradaban mana yang sedemikian maju dan bisa membangun piramida sebesar itu?
“Kami eskavasi dulu, baru bisa mengetahui lebih lanjut”.
“Ini akan menguak, peradaban masa lalu yang mengagumkan bisa berasal dari bumi nusantara,” tambah Iwan.
Ditanya soal agenda eskavasi, Iwan
menjelaskan, pihaknya kini sedang berkoordinasi dengan semua pihak
terkait. “Ketika semua sudah siap, baru akan melakukan eskavasi. Ini
tidak gampang, tidak seperti cangkul-mencangkul tanah. Ini sangat
berharga, berumur ribuan tahun,” kata dia.
Semua aspek, dia menambahkan, perlu
dibicarakan dengan semua instansi terkait — memberikan pemahaman, bahwa
di tempat tersebut ditemukan piramida. “Untuk tahap awal melalui kepala
desa, mereka menerima, mudah-mudahan saat eskavasi jalan, sudah terbuka
semua,” kata dia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah diberi
tahu soal temuan ini.
Keberadaan piramida tersebut, Iwan
menambahkan, dapat memberikan efek positif bagi masyarakat Garut dan
sekitarnya, khususnya aspek ekonomi dan sosial. “Kami gembira tim
peneliti mancanegara berniat langsung datang,” kata Iwan. “Ini akan
membalikkan semua pandangan orang terhadap dunia prasejarah.”
Sebelumnya, Tim Katastropik Purba juga
mengatakan, bangunan diduga piramida bukan hanya di dalam Gunung
Sadahurip. Juga ditemukan di tiga gunung lain di Garut. “Hasil survei di
Gunung Putri, Gunung Kaledong dan Gunung Haruman sudah bisa diambil
kesimpulan bahwa ada “man made” yang diduga kuat piramida,” ujar Tim.
Penelitian juga dilakukan di Gunung
Padang, Cianjur, di mana batu-batu megalitikum tersebar luas di kawasan
sehektare lebih. Melalui tes geolistrik, Tim menyimpulkan di situs
Gunung Padang yang juga disebut sebagai peninggalan megalitikum terbesar
di Asia Tenggara itu terdapat struktur punden berundak yang mirip
piramida. \
Pada 5 November, Tim yang sama juga
melansir, Gunung Klothok dan sebuah gunung di Sleman, juga diduga
menyimpan struktur piramida di dalamnya. (umi/vivanews/icc.wp.com)
*
Jerman Siap Bantu Kuak Misteri Piramida Garut
“Ilmuwan asing ingin membuktikan hipotesa, nusantara pernah jadi pusat beradaban dunia.”
Gunung Sadahurip atau Gunung Putri di
Garut, Jawa Barat diyakini bahwa bukit itu tak hanya sekedar onggokan
tanah, namun menyimpan sebuah rahasia besar: sebuah piramida.
Menurut perkiraan, besar dan usianya
melampaui Piramida Giza di Mesir. Tingginya diduga mencapai 200 meter,
usianya sekira 10.000 tahun. Benar atau tidaknya klaim tersebut, masih
menunggu pembuktian melalui proses eskavasi.
Terkait eskavasi, anggota Tim Katastropik
Purba yang ikut menemukan gunung piramida, Iwan Sumule mengatakan,
sejumlah peneliti dan lembaga asing telah menawarkan bantuan. Berupa
tenaga peneliti, juga dana.
“Kami sudah dikontak, mereka akan memberi
bantuan dana dan ajukan kerjasama penelitian, bahkan sudah dirancang
juga oleh sebuah yayasan Jerman,” ujar Iwan dalam perbincangan, Kamis 29
Desember 2011.
Pihak yang sudah mengajukan tawaran kerjasama, adalah sebuah lembaga peneliti Jerman, Deutsche Orient-Gesellscaaft (DOG) dan peneliti, Prof. Bonatz, juga dari Jerman.
Sebelumnya, masuk daftar peneliti yang
tertarik dengan piramida Garut adalah Stephen Oppenheimer, ahli genetika
dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris.
Ia adalah penulis buku “Eden in The East”, yang mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara.
Alasan ketertarikan itu, kata Iwan, karena mereka pernah menulis buku atau studi tentang piramida.
Sekaligus membuktikan hipotesa soal
peradaban maju yang konon berada di nusantara. “Titiknya di daerah
Sunda, mereka sudah memprediksi dalam bukunya, dia (Oppenheimer) sudah
memprediksi,” tambahnya.
Untuk memperlancar proses eskavasi,
pihaknya akan mengadakan pertemuan khusus dengan Oppenheimer pada bulan
Febuari 2012 di Bali bersamaan dengan pertemuan peneliti budaya seluruh
dunia.
Dalam pertemuan itu, akan dibicarakan
berbagai hal untuk memperlancar eskavasi. “Kami bicarakan teknis
eskavasi nanti bagaimana juga berbagi data terkait dengan piramida. Dia
juga sudah meneliti piramida di daerah Timur Tengah,” lanjut Iwan.
Tunggu pembuktiannya
Meski menimbulkan harap dan menerbitkan rasa penasaran, sejumlah pihak mempertanyakan klaim piramida di nusantara. Apalagi, Indonesia tak mengenal adanya piramida.
Meski menimbulkan harap dan menerbitkan rasa penasaran, sejumlah pihak mempertanyakan klaim piramida di nusantara. Apalagi, Indonesia tak mengenal adanya piramida.
Menanggapi berbagai pro kontra itu, Iwan
meminta pihak yang menyangsikan untuk menunggu hasil penelitian. “Kita
buktikan saja dengan tahapan ilmiah, metode ilmiah. Itu sudah kita
lakukan,” kata dia.
Ketertarikan peneliti asing, dia
menambahkan, juga memperkuat klaim tersebut. “Peneliti asing pasti sudah
mempelajarinya, tidak mungkin mereka antusias terus tidak meyakini hal
ini,” jelasnya. “Masa orang luar yang malah percaya, kita sendiri nggak
percaya.”
Ia melanjutkan, masyarakat saat ini juga
antusias untuk menunggu kebenaran soal peradaban yang tersimpan dalam
piramida tersebut. “Saat ini masyarakat sekitar memang mengeramatkannya.
Untuk itu penelitian ini bisa menjawab (rasa penasaran),” dia
menambahkan.
Iwan berharap bila ternyata benar
terdapat piramida di balik gunung tersebut, ini akan berdampak positif
bagi masyarakat sekitar. “Bisa positif untuk sosial budaya dan ekonomi.”
(VIVAnews/icc.wp.com)
*
Ditemukan ‘Batu Bronjongan’ di Gunung Lalakon!
“Batu-batuan itu tersusun rapi membentuk sudut 30 derajat dengan garis horizontal.”
Kamis 17 Maret 2011, Tim Turangga Seta
(TS) yang melakukan penggalian di Gunung Lalakon, Soreang, Bandung, Jawa
Barat, sejak Senin pekan ini berhasil menemukan beberapa batu boulder
yang mereka duga batu penutup bangunan piramida.
Batu-batu boulder itu ditemukan di lubang
penggalian dengan lebar sekitar 3 meter, panjang 5 meter, dan kedalaman
hingga 4 meter, yang terletak di koordinat 6° 57,5′ Lintang Selatan,
107° 31,239′ Bujur Timur, serta ketinggian 722 meter di atas permukaan
laut.
Batu-batu boulder tersebut panjangnya
bervariasi, antara 1,1 meter hingga 2 meter, dengan besar yang kurang
lebih sama, yakni selebar 30-40 sentimeter (cm) serta tersusun rapi dan
teratur.
Menurut pendiri Turangga Seta, Agung Bimo
Sutedjo, batu-batuan boulder itu membentuk sudut 30 derajat dengan
garis horizontal dan mengarah ke titik pusat piramida. Setidaknya, tim
menemukan 4 batu boulder di kedalaman 1,5 meter di bawah permukaan tanah
dan 3,7 meter di bawah permukaan tanah.
Agung mengatakan, batu-batu boulder itu
merupakan batu bronjongan yang sengaja diatur sedemikian rupa, agar
tanah yang menutupi bangunan piramida tidak longsor. Ditemukannya
batu-batu ‘bronjongan’ tersebut membuat beberapa tenaga penggali yang
notabene warga sekitar Gunung Lalakon sempat tertegun.
“Kalau saya melihat tanah yang digali
oleh beko (back hoe) di bukit sebelah, tanahnya tidak seperti ini. Ini
tanahnya ada batu-batunya, seperti sengaja diuruk,” ujar Agus Yahya
Budiana, warga Kampung Badaraksa yang berada di lokasi penggalian, Rabu
16 Maret 2011.
Namun, penggalian belum menemukan
bangunan piramida yang diduga tertimbun di bawah batu-batu boulder yang
ditemukan. “Dari petunjuk hasil uji geolistrik, semestinya batuan padat
yang diduga bangunan piramida, masih berada sekitar 2 meter di bawah
tanah dasar lubang penggalian,” kata Agung.
Gunung Lalakon merupakan salah satu dari
beberapa bukit yang diduga oleh kelompok Turangga Seta menyimpan
bangunan Piramida. Sebelumnya, Tim Turangga Seta telah melakukan
pengujian dengan alat geolistrik bersama tim peneliti dan menemukan
citra struktur batuan yang ‘tak alamiah’.
Mungkin inilah masa penantian yang cukup
menegangkan. Adakah bukit piramida ini sekadar dongeng ala piramida
Bosnia yang berulang, atau memang suatu pengungkapan gemilang tentang
adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah terungkap?
Kita dukung, kita tunggu dan kita semua berharap kebenarannya… (ts/vivanews/icc.wp.com)
*
Jurnalis Klaim Temukan ‘Pintu’ Piramida Garut!
“Mereka menemukan benda mirip prasasti di kedalaman tanah 50 centimeter.”
Jum’at 6 Januari 2012, Sekelompok
jurnalis dari stasiun televisi mengklaim telah menemukan benda yang
dianggap sebagai piramida di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat. Mereka
juga menemukan benda mirip prasasti yang terbuat dari batu.
“Kami menemukan sebuah benda yang mirip
prasasti berbentuk oval dan ada ukir-ukiran,” kata Ali Taba, Jurnalis
Trans7 dalam perbincangannya dengan VIVAnews.com, Jumat 6 Januari 2012.
Benda mirip prasasti tersebut, lanjutnya,
terbuat dari batu tapi dengan ornamen berbeda dengan prasasti umumnya.
“Tekniknya seperti dicungkil. Ada semacam butir-butir pigmen,” katanya.
Mereka menemukan benda mirip prasasti ini
setelah menggali tanah sedalam 50 centimeter (cm) di kaki Gunung
Sadahurip. “Posisi itu seperti menunjukkan pintu masuk,” ujarnya yang
mengaku saat menggali bersamaan dengan hujan besar pada siang sampai
sore hari.
Temuan ini kemudian disampaikan ke Tim
Katastropik Purba untuk menjadi bahan dalam proses eskavasi. Tim
Katastropik, menurutnya, sangat senang atas temuan ini.
Saat dikonfirmasi mengenai kabar
tersebut, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana
Alam, Iwan Sumule, membenarkan bahwa beberapa jurnalis telah bertemu
dengan dirinya untuk menyampaikan temuan mereka.
“Kami senang karena banyak inisiatif dan
partisipasi masyarakat dari berbagai kalangan,” kata Iwan. Dia menilai
temuan ini tetap berharga meski di kemudian hari ada tim lain yang akan
melakukan eskavasi Piramida Garut.
Mengenai riset piramida ini sendiri, staf
khusus Presiden Andi Arief mengatakan proses telah masuk ke tahap
akhir, finishing. Tim ahli masih harus penuhi satu tahap scientific lagi
sehingga dari segala sudut ilmiah bisa terpenuhi.
Tim juga mendengarkan masukan secara
informal dari para geologis, vulkanologis, arkeologis senior, ahli
filologi, Fakultas Ilmu Budaya UI, periset Bandung, penulis produktif A
Samantho, Penulis dan pembawa acara TV serta pemilik perguruan Dicky
Zainal. Secara formal juga sudah melakukan pertemuan dengan wakil dari
Arkenas dan Dirjen Kepurbakalaan.
*
Mata Air Dekat “Gunung Piramida” Diselidiki
“Ada bukit yang menjadi lembah yang diduga kuat materialnya menjadi bahan bangunan di Sadahurip.”
Rabu, 11 Januari 2012 – Tim Katastropik
Purba kini sedang meneliti mata air yang mengucur di lembah batu Rahong,
yang letaknya tidak jauh dari Gunung Sadahurip. Ini terkait dengan
dugaan ada struktur “man made” yang tersimpan di balik gunung tersebut: “Piramida Garut”.
Anggota tim, Iwan Sumule menjelaskan, lembah batu Rahong, lokasi mata air itu, juga punya keunikan.
Diduga sebelumnya ia adalah gunung, yang
karena sebuah proses berubah menjadi lembah. “Diduga kuat materialnya
menjadi bahan bangunan di Sadahurip,” ujarnya.
Berdasarkan hasil IFSAR, juga hasil
geolistrik, lanjut Iwan, terlihat pernah ada kegiatan penambangan bukit
sampai terbentuk tebing batu Rahong.
Petunjuknya, lembah batu Rahong memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan pola kelongsoran tebing alami
karena tidak ada tumbukan longsorannya.
Selain itu, volume material di atas
elevasi 110 meter dari puncak bukit Sadahurip sama dengan volume yang
berkurang dari lembah tebing batu Rahong.
Untuk
membuktikan, benarkah batu di lembah Rahong digunakan jadi bahan
bangunan “piramida”? Saat ini sedang dilakukan penelitian intensif
terhadap mata air yang ada di bawah lembah.
Untuk diketahui, apakah ada hubungan dengan mekanisme yang ada di gunung “man made” Sadahurip. “Mata air dari lembah batu Rahong berkarakteristik air artesis sumur dalam,” ujarnya.
Iwan mengungkapkan, untuk riset air lembah Rahong, sementara ini difokuskan pada gelombang yang berubah ubah karena amplitudo (AM) atau fasa (FM) frekuensinya, beresonansi dengan wadahnya.
Agar terjadi resonansi diberikan sekat membran logam yang berpori heksagonal dan ditata seperti Mitochondria. “Kami uji coba dengan frekuensi tetap misalnya gelombang Fibonacci atau Plutna,” katanya. Juga dilakukan, pemisah molekular H2 dengan O.
Mekanisme
ini bersumber pada tekanan, sehingga menimbulkan pergerakan mekanika
pada sebuah sistem akselerasi magnetik dan energi kinetik.
“Apabila energi itu secara berlebihan tak
tertampung , maka akan membentuk pancaran gelombang cahaya yang
sewaktu-waktu terlihat di sekitar Gunung Sadahurip,” kata dia.
Juga wajar kalau muncul dugaan di
masyarakat, bahwa air di sekitar Sadahurip menjadi air yang bermutu
tinggi sebagai sarana akselerasi sel di tubuh manusia. “Kami sedang
melakukan uji laboratorium untuk melihat kecenderungan antioksidan air
lembah Rahong,” kata Iwan. “Dan akan dibandingkan dengan air mineral
yang ada di Indonesia maupun yang ada di beberapa negara.”
*
SBY Terima Kunjungan Prof Oppenheimer
Kegiatan ini akan ekpose berbagai riset yang dilakukan Tim Bencana Katastropik Purba.
Jum’at, 3 Februari 2012, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan menerima Profesor Stephen
Oppenheimmer, pakar genetik dan struktur DNA asal Oxford University
Inggris yang berteori awal peradaban dunia dari Indonesia, di Istana Negara, Kamis 2 Februari 2012.
Pertemuan dengan presiden, direncanakan selain untuk beramah tamah, sekaligus melaporkan rencana kegiatan 4th International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) di Bali.
Juga kegiatan Sarasehan Menguak Tabir
Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Jakarta, terselenggara
kerjasama Universitas Indonesia, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang
Bantuan Sosial Dan Bencana, dan Tim Bencana Katastropik Purba.
Staf Khusus Presiden, Andi Arief,
menyatakan pihak Universitas Indonesia, yakni Rektor dan Dekanat
Fakultas Ilmu Budaya secara khusus akan melaporkan kepada presiden
kegiatan International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) di Bali.
“Kegiatan tersebut merupakan ajang
informasi berkaitan dengan prestasi dan hasil penelitian terkini di
Universitas Indonesia, termasuk kegiatan pembangun Pusaka ‘Pusat Kebudayaan‘
Indonesia, yang selama ini kerjasama telah dilakukan oleh UI dengan
lintas instansi, lintas kelompok penelitian dan disiplin ilmu,” kata
Andi Arief, dalam keterangannya.
Andi Arief menjelaskan, kegiatan
Sarasehan Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba, adalah
kegiatan ekpose berbagai riset yang dilakukan Tim Bencana Katastropik
Purba dan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial Dan Bencana,
berkaitan dengan bencana purba yang terjadi di Indonesia, sehingga
mampu menyurutkan peradaban di banyak lokasi di nusantara.
“Pak Oppenheimmer dan Frank Joseph Hoff (asisten Arroyo Santos pengarang buku Atlantis The Lost Continent Finally Found),
akan hadir di Indonesia dalam konteks itu, di Jakarta akan menjadi
peserta dalam sarasehan Bencana Katastropik Purba, sedangkan di Bali
bersama dengan kami akan menjadi keynote speaker,” jelasnya.
Menurut Andi Arief, dalam pertemuan
dengan SBY akan hadir mendampingi Profesor Stephen Oppenheimmer adalah
Rektor UI Prof Gumilar R Sumantri, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Dr Bambang
Wibawarta, Dr Danny Hilman dari Tim Bencana Katastropik Purba.
Sarasehan Menguak Tabir Peradaban Dan
Bencana Katastropik Purba, rencananya akan diselenggarakan di Gedung
Krida Bakti Sekretariat Negara pada 7 Februari 2012. Sedangkan untuk
acara 4th International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) pada
9-11 Februari 2012, di Bali – Inna Grand Bali Hotel, Sanur.
*
Pendapat Beberapa Pakar Dunia Lainnya
Dibawah ini adalah salah satu dari hasil
Geolistrik dari gunung Lalakon yang menunjukkan pola keberadaan bangunan
yang mungkin disembunyikan leluhur di dalam gunung Lalakon.
Berikut ini interpretasi dari dua pakar lainnya:
1. Menurut Prof. Dr. Sci. Sam Semir Osmanagich
Foreign Member of the Russian Academy of Natural Sciences, Professor of Anthropology at American University in Bosnia-Herzegovina.
Foreign Member of the Russian Academy of Natural Sciences, Professor of Anthropology at American University in Bosnia-Herzegovina.
Profesor Semir adalah seorang peneliti
piramid di Bosnia yang juga menuai kontroversi. Padahal piramid Bosnia
mempunyai bukti yang sudah jauh lebih kongkrit ketimbang piramid di
Indonesia. Ia juga sedang meneliti piramida di Mauritius.
Sejatinya, profesor yang satu ini memang
suka memburu piramida-piramida di seluruh penjuru dunia yang belum
terkuak atau yang masih tertimbun.
“Lapisan sistematis” seperti yang
diidentifikasi oleh survei geolistrik adalah bukti yang sangat konkret
untuk bukti keberadaan. Sebelumnya penggalian dan beberapa parit
arkeologi menunjukkan adanya batu-batuan dalam urutan tertentu.”
2. Menurut Prof. Dr. Sayogi Sudarman
(Pakar Geothermal Explorationist dan Pakar Geophysicist):
(Pakar Geothermal Explorationist dan Pakar Geophysicist):
“Bukit ini buatan manusia karena gunung
api kalau meletus pasti akan keluar magma yang tebal dibagian atas dan
makin kebawah makin tipis.”
“Namun yang terdapat pada gunung ini
terdapat lapisan mendatar yang sangat sistematis dan mempunyai ketebalan
yang relatif sama, kemudian juga terdapat batuan keras padat,
kemungkinan marbel (marmer) yang secara kelistrikan bersifat resistif
berbentuk anak tangga, dengan kemiringan delapan derajat.” (eh/ts/vivanews/icc.wp.com)
*
Diskusi ‘Harta Karun’ Sadahurip Bakal Tayang di Seluruh Dunia
Jakarta Senin, 06/02/2012 – Istana melalui Staf Khusus Kepresidenan bidang Penanggulangan Bencana menggelar diskusi terkait ‘harta karun‘ berusia ribuan tahun di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat. Diskusi ini bakal ditayangkan di seluruh dunia. Wah!
“Akan diliput oleh hampir seluruh media
masa nasional, dan beberapa media masa internasional. Selain itu akan
ditayangkan langsung ke seluruh dunia, melalui TV live streaming,” kata Staf Khusus Kepresidenan bidang Penanggulangan Bencana, Andi Arif, Senin (6/2/2012).
Andi mengatakan, diskusi Selasa (7/2)
esok berisi ekspose hasil-hasil penelitian tentang bencana katastropik
purba. Kegiatan akan digelar pukul 09.00 – 15.00 WIB di Gedung Krida
Bhakti, Sekretariat Negara, Jl Veteran No 12, Jakarta.
Dalam acara akan diperkenalkan pula Tim
Peneliti Bencana Katastropik Purba (BKP), dan spesifik penemuan terbaru
tentang Gunung Padang di Cianjur dan Gunung Sadahurip di Garut. Peserta
yang sudah terdaftar mencapai 400 orang.
“Terdiri dari berbagai kalangan khususnya
bidang kebumian, arkeologi, antropologi, dan lainnya dari berbagai
perguruan tinggi, komunitas, lembaga penelitian, masyarakat umum, dan
pemerintah,” jelas Andi.
Sebelumnya Andi yakin ada bangunan
bersejarah ditemukan di pegunungan di Garut. Umur bangunan yang
terpendam dalam gunung itu diyakini lebih tua dari Piramida Giza di
Mesir.
Namun keyakinan Andi Arief dan timnya
tersebut diragukan kalangan lainnya. Arkeolog UI, Irmawati M Johan,
menyebut bangunan tertua di Indonesia yang ditemukan dan sudah diteliti
berdasarkan bukti ilmiah adalah candi yang dibangun pada abad 7 Masehi.
Belum ada bangunan yang ditemukan sebelum era Masehi.
Sekadar catatan, Piramida Giza di Mesir
selama ini dikenal sebagai piramida tertua dan terbesar dari 3 piramida
yang ada di Nekropolis Giza. Dipercaya bahwa piramida ini dibangun
sebagai makam untuk firaun dinasti keempat Mesir, Khufu, dan dibangun
selama lebih dari 20 tahun dan diperkirakan berlangsung pada sekitar
tahun 2560 sebelum Masehi. (Detiknews/icc.wp.com)
*
Soal Piramida Butuh Penelitian Geologis
Wawancara Profesor Stephen Oppenheimer
Jakarta Sabtu, 11/02/2012 – Stephen Oppenheimer begitu sohor di Asia Tenggara setelah menerbitkan buku berjudul “Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”. Buku itu terbit pada tahun 1998.
Buku ilmiah itu diramu dari pengalamannya menjadi dokter di sejumlah negara di Pasifik dan Asia Tenggara.
Dia menjadi dokter di kawasan itu antara
tahun 1973 hingga 1990-an. Pengalaman menjadi dokter bertahun-tahun itu
diramu dengan temuan genetika, geologi, arkeologi, sejarah, bahasa dan
kelautan, maka lahirlah buku tadi.
Dalam buku itu Oppenheimer menulis
tentang benua yang hilang di Asia Tenggara, sebuah dataran yang dua kali
lebih luas dari India masa kini. Dataran itu dulu menyatukan Pulau
Jawa, Kalimantan dan Sumatera dengan daratan Asia.
Setidaknya, begitu ia menulis dalam buku
itu tiga kali “banjir besar” menenggelamkan sebagian besar daratan itu,
yang menurut Oppenheimer membuat rakyat berpencar ke berbagai penjuru
terutama Pasifik. Sepanjang karirnya sebagai dokter, Oppenheimer
pernah bertugas di Malaysia, Papua Nugini, Hong Kong, Nepal dan Kenya.
Cerita Oppenheimer ini disebut sejumlah kalangan ‘nyambung’ dengan cerita Atlantis yang hilang, meski dosen di School of Anthropology Universitas Oxford ini menghindar jika kesimpulannya itu dikaitkan dengan mitos itu.
Penjelasan Oppenheimer ramai
diperbincangkan belakangan ini di tengah Tim Katastrofi Purba yang
dibentuk Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial
Andi Arief melakukan penelitian pada sejumlah tempat yang diduga
bersejarah, yang menguatkan dugaan adanya bencana besar yang membuat
sejumlah peradaban tertimbun.
Tim juga menemukan indikasi bangunan kuno
yang berdasarkan uji karbon atas arang yang ditemukan di dekatnya
mendekati usia 6.700 tahun yang lalu.
Bagaimana pendapat Oppenheimer yang lulus
Fakultas Kedokteran University of London pada 1971 itu mengenai
temuan-temuan Tim dari Istana itu? Oppenheimer menjawabnya dalam
wawancara khusus di Grand Bali Beach, Denpasar Bali, Rabu 8 Februari
2012 lalu.
Dari sejumlah temuan terakhir, tidakkah Anda melihat ada cukup bukti keberadaan piramida di sini?
Yang paling penting dari soal piramida ini adalah memastikan apakah temuan itu sebuah monumen atau sebuah struktur geologi. Dulu ada orang yang menemukan sebuah bangunan di bawah air di Yonaguni Jepang. Setelah ditelitii ternyata itu bukanlah monumen, melainkan sebuah struktur geologi.
Yang paling penting dari soal piramida ini adalah memastikan apakah temuan itu sebuah monumen atau sebuah struktur geologi. Dulu ada orang yang menemukan sebuah bangunan di bawah air di Yonaguni Jepang. Setelah ditelitii ternyata itu bukanlah monumen, melainkan sebuah struktur geologi.
Sebuah formasi bebatuan, namun mungkin ada modifikasi di atasnya. Yonaguni adalah sebuah contoh, dari sebuah struktur geologis, yang terlihat seperti monumen tapi bukan monumen. Yonaguni
adalah sebuah kawasan paling selatan Jepang yang bersisian dengan
perairan Taiwan. Tahun 1998, penyelam menemukan struktur bebatuan yang
terlihat tertatah rapi di dasar laut. (baca: 12 Peninggalan Sejarah Paling Misterius Di Dunia)
Apakah sudah ada kesimpulan final bahwa Yonaguni adalah struktur geologis?
Saya membaca tentang itu. Saya memang bukan geolog, namun ada seorang geolog yang tertarik. Dia lalu ke sana menyelam untuk memastikannya.
Saya membaca tentang itu. Saya memang bukan geolog, namun ada seorang geolog yang tertarik. Dia lalu ke sana menyelam untuk memastikannya.
Bukankah soal ini Anda singgung juga di buku “Eden in the East”?
O, iya. Buku saya dicetak di tahun 1998, dan gambar Yonaguni itu ada. Penerbit saya mengatakan masukkan dia ke dalam. Jika Anda membaca versi Bahasa Inggris, Anda akan menemukan kualifikasi Yonaguni itu. Apakah buatan manusia, dimodifikasi manusia, atau sebuah struktur geologis.
O, iya. Buku saya dicetak di tahun 1998, dan gambar Yonaguni itu ada. Penerbit saya mengatakan masukkan dia ke dalam. Jika Anda membaca versi Bahasa Inggris, Anda akan menemukan kualifikasi Yonaguni itu. Apakah buatan manusia, dimodifikasi manusia, atau sebuah struktur geologis.
Jadi Anda harus paham apa arti ungkapan ilmiah “dismissal”.
Intinya adalah bahwa saya tidak mengatakan bahwa saya tidak percaya,
saya hanya membutuhkan bukti lebih lanjut, baru saya bisa berkomentar.
Apakah Anda tidak melihat bukti dari penemuan terakhir di Gunung Sadahurip
Semua yang saya lihat di VIVAnews,
sebuah gambar formasi bebatuan yang mungkin saja gunung vulkanik. Itu
hanya gambar. Apa yang kita butuhkan adalah sebuah penyelidikan
geologis. Tapi saya perlu tekankan sekali lagi bahwa bukan berarti saya
tidak percaya. Saya hanya minta bukti lebih lanjut. Dan bukti itu harus
dipublikasikan di jurnal ilmiah. [Oppenheimer lalu meminta VIVAnews membuka bukunya, Eden in the East]
Semua apa yang saya jelaskan itu ada
dibuku ini. Buku ini diterbitkan di Inggris tahun 1998. Namun kami
menambahkan kata pegantar baru. Kami melakukan banyak riset. Dan
mempublikasikan riset-riset itu dalam jurnal ilmiah.
Saya juga menjelaskan hasil riset-riset
itu dalam buku ini. Anda bisa lihat referensinya di kata pengantar baru,
di bagian belakang buku, bahwa hasil riset-riset itu telah
dipublikasikan di banyak jurnal.
Nah, kini yang ingin saya sampaikan
kepada Anda adalah bahwa saya belum melihat bukti publikasi mengenai
penemuan di Gunung Sadahurip.
Anda mengatakan, sebuah
kebudayaan besar harus memiliki sistem bercocok-tanam, pengetahuan
berlayar, dan lain-lain. Tidakkah Anda melihatnya di sini?
Saya melihatnya. Di Indonesia Anda melihat hewan peliharaan bernama sapi. Dahulu kala, sapi itu didomestikasi di Banteng. Itu sudah dulu sekali. Ayam yang kami punyai di Barat, juga didomestikasi di sini. Usia domestikasi ayam 16.000 tahun lampau. Juga babi dan anjing , semuanya didomestikasi di semenanjung Melayu. (Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses “penjinakan” yang dilakukan terhadap hewan atau tumbuhan liar.)
Saya melihatnya. Di Indonesia Anda melihat hewan peliharaan bernama sapi. Dahulu kala, sapi itu didomestikasi di Banteng. Itu sudah dulu sekali. Ayam yang kami punyai di Barat, juga didomestikasi di sini. Usia domestikasi ayam 16.000 tahun lampau. Juga babi dan anjing , semuanya didomestikasi di semenanjung Melayu. (Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses “penjinakan” yang dilakukan terhadap hewan atau tumbuhan liar.)
Kerbau juga didomestikasi di sini.
Gambarnya muncul di relief di Mesopotamia tiga ribu tahun sebelum
Masehi. Jadi jelas bahwa hewan peliharaan datang dari Asia Tenggara ke
peradaban Barat. Itu bukti gambar. Tanah air kerbau rawa itu adalah di
sini, tapi muncul 4.500 tahun yang lalu di Mesopotamia.
Bukti lain adalah orang berlayar. Jika
melihat genetika manusia, maka Anda akan melihat bahwa karena kenaikan
permukaan air laut maka orang keluar, berpencar ke Malaka, Nusa Tenggara
dan Sulawesi. Mereka pasti pergi dengan naik perahu. Pada tahap
pertama, mereka pergi ke tempat terdekat seperti Sulawesi, Lombok, Sumba
dan Filipina.
Dan Bali?
Dulu Bali terkoneksi dengan Jawa. Bali adalah bagian dari daratan utama (Sundaland). Lombok adalah pulau pertama sebelum kenaikan muka air laut.
Dulu Bali terkoneksi dengan Jawa. Bali adalah bagian dari daratan utama (Sundaland). Lombok adalah pulau pertama sebelum kenaikan muka air laut.
Jika Anda mencari bukti dalam dunia
pelayaran, maka Anda akan mendapat bukti penangkapan ikan di Timor. Di
sana ada alat pemancingan ikan dari 10 ribu tahun lampau. Ada juga alat
dari kerang. Alat dari kerang yang ditemukan di timur Indonesia itu,
sangat mirip dengan yang saya temukan di Pasific. Sangat tua.
Elemen zaman batu muda (neolitik) adalah
domestikasi, keramik dan pelayaran. Ingat, pertanian bukan satu-satunya
bentuk domestikasi. Yang telah didomestikasi di Indonesia adalah
umbi-umbian seperti talas dan ketela. Dan Papua adalah pisang. Pisang
pertama di dunia datang dari Papua dan usianya 10 ribu tahun.
Itu bukti genetika?
Bukan. Itu bukti arkeologis.
Bukan. Itu bukti arkeologis.
Bagaimana dengan padi? Saya pernah baca DNA beras datang dari India?
Cerita genetika padi sangat rumit. Mari mulai dengan penanggalan arkeologis, lebih mudah. Lalu baru balik ke genetika. Padi tertua yang ditemukan di Sarawak, Kalimantan. Padi ditemukan di pot yang retak. Di dalamnya ditemukan butiran padi dan kapur. Ilmuwan lalu menggunakan karbon dari padi itu untuk mengetahui penanggalannya. Dan angkanya 5.200 tahun lalu.
Cerita genetika padi sangat rumit. Mari mulai dengan penanggalan arkeologis, lebih mudah. Lalu baru balik ke genetika. Padi tertua yang ditemukan di Sarawak, Kalimantan. Padi ditemukan di pot yang retak. Di dalamnya ditemukan butiran padi dan kapur. Ilmuwan lalu menggunakan karbon dari padi itu untuk mengetahui penanggalannya. Dan angkanya 5.200 tahun lalu.
Namun beras ini datang dari semenanjung
Melayu dan agak terlokalisir di utara Kalimantan. Di timur Indonesia,
padi tak ada sampai 2000 tahun lalu. Jadi agak baru. Jawa juga relatif
terlambat, namun saya lupa angka pastinya.
Jadi, apa yang dimakan nenek moyang kami?
Umbi-umbian seperti talas dan sagu. Sagu ini cukup penting karena tumbuh liar. Di Mentawai, di pulau lepas pantai Sumatera Barat, mereka memanen sagu. Sagu juga penting di Papua. Satu-satunya umbi-umbian yang tidak dari sini adalah ubi jalar. Dia dari Amerika. Selain itu, semuanya didomestikasi di sini. Juga ada pisang, kacang kenari dan kelapa yang didomestikasi di sini.
Umbi-umbian seperti talas dan sagu. Sagu ini cukup penting karena tumbuh liar. Di Mentawai, di pulau lepas pantai Sumatera Barat, mereka memanen sagu. Sagu juga penting di Papua. Satu-satunya umbi-umbian yang tidak dari sini adalah ubi jalar. Dia dari Amerika. Selain itu, semuanya didomestikasi di sini. Juga ada pisang, kacang kenari dan kelapa yang didomestikasi di sini.
Kembali ke sagu, ada sebuah riset
mengenai Kerajaan Sriwijaya bahwa rahasia kebesarannya salah satunya
sagu. Mereka tak harus menanamnya, cukup tebang, biarkan seminggu lalu
Anda akan dapatkan sagu. Bagaimana dengan itu?
Teknologi untuk sagu ini sangat tua. Anda menemukannya di seluruh Papua dan Pasifik juga. Tidak harus ditanam. Dengan sagu, orang-orang bisa berdiam di satu tempat. Mereka tidak harus berpindah-pindah seperti pemburu dan peramu. Di daerah rawa, Anda akan dapat banyak sagu.
Teknologi untuk sagu ini sangat tua. Anda menemukannya di seluruh Papua dan Pasifik juga. Tidak harus ditanam. Dengan sagu, orang-orang bisa berdiam di satu tempat. Mereka tidak harus berpindah-pindah seperti pemburu dan peramu. Di daerah rawa, Anda akan dapat banyak sagu.
Orang-orang Polinesia tidak menanam padi. Mereka makan sagu, talas, dan ketela. Namun produk mereka ini datang dari sini.
Kembali ke pertanyaan pertama Anda, saya
tidak bermaksud mencari sebuah monumen. Jika seseorang menemukan monumen
dan sangat bangga, itu jelas sangat baik.
Sebuah monumen adalah sebuah peradaban.
Karena Anda harus memiliki peradaban untuk membangun monumen. Namun Anda
tidak harus memiliki monumen untuk membuktikan peradaban di masa
neolitik.
Monumen adalah puncak, produk final dari
peradaban. Akar dari peradaban adalah bagaimana memberi makan rakyat dan
bagaimana menyelamatkan diri. Berlayar adalah keterampilan neolitik,
bukan keterampilan masa berburu dan meramu.
Berlayar adalah bukti dari kegiatan
neolitik. Menangkap ikan dengan alat-alat kompleks adalah bukti
peradaban. Tanpa pasokan makanan besar-besaran, Anda tak bisa memberi
makan populasi yang membangun kota atau monumen.
Apakah itu berarti orang Bugis sebagai contohnya karena memiliki keterampilan berlayar paling hebat?
Anda akan melihatnya besok di presentasi. Umumnya ekspansi populasi terjadi ketika banjir terjadi, terkonsentrasi di Sulawesi, kampung halaman orang Bugis. Tidak hanya Bugis, tapi juga orang Bajo atau Orang Laut
Anda akan melihatnya besok di presentasi. Umumnya ekspansi populasi terjadi ketika banjir terjadi, terkonsentrasi di Sulawesi, kampung halaman orang Bugis. Tidak hanya Bugis, tapi juga orang Bajo atau Orang Laut
[Presentasi dimaksud Oppenheimer
keynote speech di Konferensi Studi Indonesia yang diselenggarakan
Fakultas Ilmu Budaya di Hotel Inna Grand Bali Beach, pada Kamis 9
Februari 2012]
Ketika saya menulis buku ini, saya
menawarkan “Hipotesis Dua Kereta.” Ada arus migrasi yang terjadi beribu
tahun lampau, yang terjadi jauh sebelum angka yang diteorikan antropolog
Australia, Peter Bellwood. Bellwood menyebut 3.500 tahun yang lalu,
tapi ada yang jauh lebih lampau lagi.
Bellwood berteori bahwa orang-orang
datang dari Taiwan, menyebar di Indonesia dan Filipina dan membunuh
semua orang di daerah itu. Saya membantah teori itu. Sebab yang terjadi
sesungguhnya adalah sebaliknya. Orang-orang Taiwan berasal dari sini.
Dalam hipotesis saya, ada dua migrasi.
Migrasi pertama 6.000 tahun yang lalu. Saya berargumen mereka mengkoloni
sebagian Papua Nugini, Kepulauan Bismarck dan Kepulauan Admiralty.
Mereka berdagang bebatuan obsidian dari sana ke Sabah. Maksud saya, dari
6.000 tahun lalu, orang menetap di sini, (Oppenheimer menunjuk peta kepulauan Bismarck), dan lalu terjadi pertukaran teknologi.
Apakah mereka dari Maluku?
Iya. Bahkan lebih ke barat; Kalimantan dan Sulawesi. Namun tidak lebih jauh lagi.
Kemudian ada arus orang datang lagi. Lebih sedikit dari yang pertama. Namun dengan teknologi berlayar yang maju sekitar 3.500 tahun lalu. Teknologi baru ini mendorong pergerakan ke seluruh Pasifik. Jadi, ada kereta lambat dan kereta cepat yang umumnya memakai teknologi. Sedikit yang bawa genetika namun banyak bawa teknologi.
Dan pusat penyebaran ke Polinesia ini di Pulau Bismarck. Hal ini dijelaskan dalam makalah baru yang akan diterbitkan. Ada makalah baru di sini .
Iya. Bahkan lebih ke barat; Kalimantan dan Sulawesi. Namun tidak lebih jauh lagi.
Kemudian ada arus orang datang lagi. Lebih sedikit dari yang pertama. Namun dengan teknologi berlayar yang maju sekitar 3.500 tahun lalu. Teknologi baru ini mendorong pergerakan ke seluruh Pasifik. Jadi, ada kereta lambat dan kereta cepat yang umumnya memakai teknologi. Sedikit yang bawa genetika namun banyak bawa teknologi.
Dan pusat penyebaran ke Polinesia ini di Pulau Bismarck. Hal ini dijelaskan dalam makalah baru yang akan diterbitkan. Ada makalah baru di sini .
(Oppenheimer menunjuk daftar pustaka
bukunya yang merujuk pada makalah yang ditulisnya bersama P Soares, J
Trejaut, Catherine Hill, Maru Mormina, dan lain-lain di tahun 2008
berjudul“Climate Change and post-glacial human dispersal in southeast
Asia” dalam Jurnal Molecular Biology and Evolution).
Kami memberi penanggalan atas penanda
genetika yang menyebar di Pasifik, yang berasal dari kawasan Bismarck
ini dan nenek moyangnya berasal dari 8.000 tahun lalu saat banjir
terakhir. Ini jelas cocok dengan banjir terakhir. Jadi, kami melihat
bahwa ada kereta lambat yang datang 8.000 tahun lalu dan tiba-tiba
berkembang di seluruh Pasifik.
Mengenai pengembangan teknologi ini, coba
lihat kata-kata yang terkait pelayaran, hampir semuanya datang dari
Indonesia, bukan dari Taiwan. Perahu, Anda tak menemukannya di Taiwan.
Jadi, pelaut sebenarnya datang dari kawasan Indonesia ini. Ini sudah
diketahui dari dulu, namun tak diacuhkan.
Anda juga mengatakan, beberapa teknologi dibawa ke Barat dari sini. Bagaimana dengan genetika?
Itu sulit. Ada populasi yang sangat besar di Barat. Namun ada pergerakan teknologi, ayam dan babi. Kerbau pergi ke Mesopotamia. Gambar kerbau tiba di Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum Masehi. Itu bukti gambar bahwa mereka datang dari sini ke Mesopotamia.
Itu sulit. Ada populasi yang sangat besar di Barat. Namun ada pergerakan teknologi, ayam dan babi. Kerbau pergi ke Mesopotamia. Gambar kerbau tiba di Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum Masehi. Itu bukti gambar bahwa mereka datang dari sini ke Mesopotamia.
Juga ada cerita terstruktur mengenai
banjir. Dalam catatan Sumeria, ada catatan mengenai banjir. Mereka
mencatat banjir yang terakhir 8.000 tahun lalu.
Bagaimana dengan teknologi bangunan seperti piramida?
Itu jika Anda menemukan piramida di sini. Masalahnya adalah bahwa piramida itu adalah struktur sederhana. Arkeolog akan berargumen bahwa bisa saja piramida itu ada, sebab itu struktur sederhana.
Itu jika Anda menemukan piramida di sini. Masalahnya adalah bahwa piramida itu adalah struktur sederhana. Arkeolog akan berargumen bahwa bisa saja piramida itu ada, sebab itu struktur sederhana.
Banyak orang berkata Atlantis di sini,
namun arkeolog akan berkata, “terus bagaimana?” Karena itu juga struktur
sederhana. Jika Anda mengunjungi candi di Jawa, naiki saja, dan dia
bisa seperti piramida. Namun jika benar ada piramida di sini yang lebih
tua dari yang ada di Mesir, tentu sangat signifikan.
Karena itu saya harus hati-hati, karena
Anda bisa menghabiskan waktu untuk memburunya. Dan jika ternyata itu
adalah gunung, jelas Anda akan mendapat malu.
Di Indonesia, ada dua genetika utama, Austronesia dan Melanesia. Mengapa mereka sangat berbeda?
Austronesia adalah keluarga bahasa. Anda salah menyatakan bahasa untuk rasa. Austronesia sebuah keluarga bahasa yang menyebar sampai ke Pasifik. Bahasa tidak setara dengan ras. Saya ambil contoh, Orang Prancis berbicara seperti bahasa yang mirip Bahasa Latin hari ini. Namun 2.000 tahun lalu, mereka berbicara dengan bahasa yang mirip Bahasa Celtic.
Austronesia adalah keluarga bahasa. Anda salah menyatakan bahasa untuk rasa. Austronesia sebuah keluarga bahasa yang menyebar sampai ke Pasifik. Bahasa tidak setara dengan ras. Saya ambil contoh, Orang Prancis berbicara seperti bahasa yang mirip Bahasa Latin hari ini. Namun 2.000 tahun lalu, mereka berbicara dengan bahasa yang mirip Bahasa Celtic.
Orang Prancis mengubah bahasa mereka di
masa Imperium Romawi. Ini seperti Singapura, mereka menggunakan Bahasa
Inggris sebagai bahasa umum. Lihat, bahasa tidak setara dengan ras,
tidak setara dengan arus genetika.
Jika Anda melihat orang Papua Nugini,
mereka yang tinggal di pesisir, berbicara bahasa Austronesia. Namun
mereka sangat hitam dan berambut keriting. Jadi, bahasa tidak setara
dengan ras. Bahasa bukan bukti dari penyebaran orang dari Taiwan.
Pertanyaan lain, lupakan bahasa, di Papua Nugini sendiri terdapat empat keluarga bahasa.
Apakah itu berarti orang Papua Nugini sangat tua secara genetis?
Ya, mereka sangat tua. Penemuan arkeologi terakhir 45 ribu tahun dan seharusnya lebih tua lagi. Di Australia, tahun perkiraannya 60.000 tahun yang lalu. Katakanlah, orang datang dari Afrika ke sini 70.000 tahun yang lalu, setelah letusan Gunung Toba; lihat mereka sangat cepat sampai ke Papua Nugini dan Australia.
Ya, mereka sangat tua. Penemuan arkeologi terakhir 45 ribu tahun dan seharusnya lebih tua lagi. Di Australia, tahun perkiraannya 60.000 tahun yang lalu. Katakanlah, orang datang dari Afrika ke sini 70.000 tahun yang lalu, setelah letusan Gunung Toba; lihat mereka sangat cepat sampai ke Papua Nugini dan Australia.
Jika melihat genetika di Papua Nugini dan
Australia, terlihat mereka di koloni pada masa yang hampir bersamaan.
Dan sepanjang masa mencapai Australia dan Nugini, 60.000 tahun lalu,
orang harus menyeberang lautan untuk mencapainya.
Bagaimana mereka melakukannya?
Dengan kapal atau rakit. Beberapa orang mengatakan mungkin saja dengan mengapung tak sengaja. Namun itu hanya satu orang, akan sangat beruntung jika dua orang. Namun buktinya, bukti kolonisasi di Australia dilakukan banyak orang dari garis keturunan berbeda-beda. Ini memang tak mudah namun bukan tak mungkin dengan rakit.
Dengan kapal atau rakit. Beberapa orang mengatakan mungkin saja dengan mengapung tak sengaja. Namun itu hanya satu orang, akan sangat beruntung jika dua orang. Namun buktinya, bukti kolonisasi di Australia dilakukan banyak orang dari garis keturunan berbeda-beda. Ini memang tak mudah namun bukan tak mungkin dengan rakit.
Jangan lupa, ada Kepulauan Solomon di
Pasifik. Mereka sampai di sana 30.000 tahun yang lalu. Mereka sudah
berlayar, berkano, lebih dari ratusan mil.
Garis di sini, yang memisahkan Bali dan
Lombok, Sulawesi dan Kalimantan— garis Wallace, telah menjebak orang di
sini (Papua Nugini) dalam isolasi relatif. Anda tahu maksudnya relatif?
Sebagian. Jika Anda bisa mencapai Indonesia timur, Anda bisa ke sana
lagi. Garis Wallace ini seperti penghalang, seperti filter.
Jadi, orang-orang di sini (Papua Nugini
dan Australia), relatif tidak tercampur. Mereka hampir seperti pendatang
pertama. Orang-orang Nugini terlihat seperti orang Afrika.
Lalu apa yang menyebabkan perbedaan tampilan?
Jika Anda melihat perubahan pada orang-orang non-Afrika, ada perubahan namun tidak besar. Beberapa di antaranya hanya mengalami perubahan yang sangat kecil. Saya beri contoh orang Eropa yang berkulit pucat.
Jika Anda melihat perubahan pada orang-orang non-Afrika, ada perubahan namun tidak besar. Beberapa di antaranya hanya mengalami perubahan yang sangat kecil. Saya beri contoh orang Eropa yang berkulit pucat.
Alasan berkulit pucat karena mutasi
tunggal pada enzim yang bertanggung jawab membuat kulit gelap. Mutasi
ini mengganggu produksi melanin pada orang Eropa. Mereka tinggal di
utara dan cuaca kerap hampir tanpa matahari, sementara vitamin D
diproduksi dengan bantuan matahari.
Jika orang-orang Eropa tak berkulit
pucat, mereka bisa kekurangan vitamin D. Jadi mutasi adalah adaptasi
terhadap kehidupan di utara.
Orang-orang China punya mutasi yang
berbeda lagi sehingga membuat mereka memiliki kulit pucat namun rambut
tidak menjadi pirang. Mereka beradaptasi dengan cara yang sama dengan
orang yang tinggal di utara. Bahkan di India, Anda bisa melihat orang di
utara India yang memiliki kulit lebih pucat. (Vivanews/icc.wp.com)