Ilmuwan yang meneliti DNA sebuah fosil berusia 30 ribu tahun lebih di Siberia kaget!
Sejumlah ilmuwan yang mencoba memecahkan
sandi DNA sebuah fosil keluarga manusia yang ditemukan di Siberia,
Rusia, terperanjat. Lima persen DNA orang Melanesia yang mendiami Papua
dan Australia itu ditemukan di makhluk yang dijuluki “Denisovans” itu.
“Kami kira ini kesalahan ketika pertama
melihatnya,” kata David Reich, peneliti dari Harvard University, yang
menulis laporan ilmiah ini. “Namun ini nyata,” katanya dilansir the
Associated Press, Rabu 22 Desember 2010.
Lebih aneh lagi, fosil itu justru tak
menunjukkan sama sekali kaitan dengan nenek moyang orang yang sekarang
mendiami Siberia. Padahal, lebih dari 30 ribu tahun lalu, “Denisovans”
malang melintang di benua Asia.
Laporan mengenai kaitan “Denisovans”
dengan ras Melanesia ini merupakan laporan kedua setelah laporan yang
menyimpulkan terjadi perkawinan silang manusia (homo sapiens) dengan
Neanderthal di Timur Tengah, sesaat setelah nenek moyang manusia keluar
dari Afrika namun sebelum mendiami Eurasia (kawasan antara Asia dan
Eropa).
Sementara untuk “Denisovans”
kemungkinannya terjadi kawin campur dengan nenek moyang orang Papua yang
bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 45 ribu tahun lalu.
Namun para ahli masih melanjutkan
penelitian lebih jauh soal genom “Denisovans” ini. Todd Disotell dari
New York University menyatakan, mereka harus mencari petunjuk jejak
warna kulit dan matanya.
“Kami akan merinci gambaran orang ini dalam beberapa tahun ke depan berdasarkan genom ini,” katanya.
Keberadaan sanak manusia ini terungkap
sembilan bulan lalu berdasarkan sampel DNA yang diselamatkan dari sebuah
tulang jari yang ditemukan di Gua Denisova di selatan Siberia. Para
peneliti lalu menggunakan Denisovans untuk genom itu, meski belum
diketahui apakah mereka merupakan spesies terpisah dengan manusia (homo
sapiens).
Namun genom yang ditemukan telah
membuktikan Denisovans lebih berkerabat dekat dengan Neanderthals
daripada manusia modern. Temun ini mengindikasikan bahwa keduanya muncul
dari sebuah nenek moyang yang sama.
Ilmuwan belum tahu seperti apa perawakan
Denisovans ini. Namun dari sebuah temuan geraham atas Denisovans di gua
itu, ukuran dan bentuknya berbeda dengan Neanderthals dan manusia
modern, yang sama-sama pernah hidup seperiode dengan mereka.
David Reich menyatakan, jari dan gigi itu
belum ditentukan tanggalnya, namun berdasarkan temuan tulang binatang
di sekitarnya, diperkirakan lebih dari 30 ribu atau bahkan 50 ribu tahun
yang lalu. Dan mereka atau nenek moyang mereka diduga kawin-mawin
dengan nenek moyang manusia modern yang merantau ke Papua pada 45 ribu
tahun lalu.
Namun menurut Reich, aneh jika perjalanan
nenek moyang orang Papua melewati Siberia untuk sampai ke Papua.
Kemungkinannya adalah Denisovans ini yang melanglang Asia termasuk
sampai ke selatan.
“Jelas sekali mereka menyebar di Asia,” katanya. Dan ini butuh penelitian DNA warga Asia yang terisolasi lama.
Sementara itu, Rick Potts, Direktur
Program Asal-usul Manusia di Smithsonian Institution, berpendapat,
penemuan gen Denisovans ini memperkuat dugaan mereka berbeda dengan
Neanderthals dan manusia modern. Meski ditemukan DNA Melanesia di
Denisovans, Potss berpendapat bukan karena perkawinan campur namun
karena DNA dari nenek moyang itu yang bertahan pada mereka namun hilang
di populasi manusia modern umumnya.
Penemuan ini membuat teori yang
dikemukakan ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford
University, Inggris, Stephen Oppenheimer, menemukan basis. Dalam
bukunya, Eden in The East, Oppenheimer mengemukakan teori Sundaland
merupakan pusat peradaban.
Menurut dia, nenek moyang dari induk
peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut
dengan sundaland atau Indonesia. Oppenheimer menceritakan, niatnya
meneliti ini dimulai dari komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua
di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini.
Dari situ dia mendapati kisah pengusiran
petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian
banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di
seluruh Eurasia. Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan
menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia.
Buku ini mengubah secara radikal
pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang
diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan
menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.
Hal itu yang menyebabkan penyebaran
populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India,
Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari
pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada
di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam.
“Indonesia telah melakukan aktivitas
pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya,”
ujar dia. Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia
(penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau
Asia Tenggara. Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi
masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya
pada 9.000 tahun lalu. (vivanews/AP)