Keramik China Abad IX dan Pecahan Kaca Dari Persia Ditemukan di Dieng

Mahasiswa Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, menemukan sejumlah benda bersejarah di kompleks Candi Dieng, antara Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Benda bersejarah yang ditemukan saat penelitian pada tanggal 2-11 Juni 2010 lalu berupa pecahan keramik China berasal dari Dinasti Tang pada abad IX dan pecahan kaca asal Persia.
Penemuan benda ini semakin melengkapi bukti-bukti sejarah masa kerajaan Mataram Kuno terdapat jalur perdagangan yang menghubungkan China dan Timur Tengah yang melewati Indonesia.

Penemuan ini bahkan menjadi yang pertama kali dan sangat signifikan atas data tentang sisi perekonomian di kerajaan Mataram Kuno. Selama ini, data yang ada hanya dalam hal pengembangan agama dan kerajaan.
“Kami melakukan penggalian dan identifikasi dua kotak di kompleks Candi Dieng, tepatnya di dekat tangga masuk Museum Kailasa dan sumur tua di dekatnya,” kata Ketua Tim Lapangan Penelitian, Dr. Mahirta, dilansir laman UGM, 12 Juni 2010.
“Penggalian dilakukan di permukaan tanah yang belum teraduk dan belum mengalami transformasi. Dari penggalian inilah kami menemukan sejumlah benda bersejarah, mulai dari pecahan keramik yang mirip dengan penemuan keramik China pada kapal yang karam di Belitung, gacuk yang merupakan uang-uangan dari gerabah yang dihaluskan, kaca kuno dari Persia, serta arang yang bisa dimanfaatkan untuk mengetahui umur benda bersejarah.”
Puluhan pecahan keramik berwarna cokat dan kuning, menurut staf pengajar Arkeologi UGM ini, dibuat di sentra kerajinan gerabah Ding di China Utara pada masa Dinasti Tang. Bukti ini dapat dipastikan karena setiap sentra kerajinan gerabah di Cina memiliki seni tersendiri.
Sementara dari analisis elemen kaca kuno yang juga ditemukan, disimpulkan benda tersebut berasal dari Persia karena warnanya yang khas biru dan hijau. Pecahan kaca kuno ini merupakan temuan yang umurnya tertua.
“Nilai sejarah penemuan ini sangat tinggi karena membuktikan jalur perdagangan Timur Tengah pada abad IX lewat jalur sutra mulai dari India, Selat Malaka, Pantai Timur Sumatra, Pantai Utara Jawa hingga Maluku. Pada masa itu, para pedagang mengambil rempah-rempah dari Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, arkeolog dari National University of Singapore, Prof. John Norman Miksick, menjelaskan sampai saat ini data tentang perdagangan darat pada abad IX masih sangat minim. Kebanyakan bukti sejarah lebih berupa temuan dan penelitian dari dasar laut yang berasal dari kapal karam. “Baru 15 tahun terakhir, banyak ditemukan bukti-bukti sejarah baru dari daratan, salah satunya dari penemuan di Dieng ini,” ujarnya.
Menurut Miksick, upaya penemuan sejumlah benda bersejarah selama ini, khususnya keramik Dinasti Tang, telah dilakukan melalui berbagai penggalian. Namun, temuan yang didapat justru dengan tidak disengaja sehingga sulit dicari data yang akurat karena banyak peneliti lebih fokus pada penggalian situs lain.
Akibatnya, temuan keramik semacam itu pada akhirnya dianggap tidak penting dan hanya dipakai sebagai data sekunder padahal temuan keramik Dinasti Tang di daratan sesungguhnya dapat melengkapi bukti sejarah yang ada saat ini.
Pola penyebaran keramik dapat menjelaskan jalur perdagangan pada abad itu bahwa perdagangan tidak hanya terjadi lewat laut, tetapi juga sampai ke pedalaman. “Penemuan ini bisa punya arti penting terhadap sejarah di Asia dan Timur Tengah,” ujarnya.
Ketua Jurusan Arkeologi FIB UGM, Prof. Dr. Inayati Adrisiyanti, menambahkan lokasi Dieng selama ini hanya dikenal sebagai situs candi. Namun, dengan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa di kawasan tersebut pada abad IX telah ada aktivitas ekonomi masyarakat sekitar.
“Kawasan itu ternyata tidak hanya menjadi tempat peribadatan, namun juga aktivitas perdagangan pada abad IX. Temuan ini melengkapi data sejarah karena selama ini peneliti lebih banyak menemukan bukti sejarah yang umurnya jauh lebih muda sekitar abad XI hingga XIII.” (hs/vivanews/icc.wp.com)