Dianggap benua yang hilang, Atlantis
memancing aneka spekulasi ilmiah. Fakta atau mitos? Nusantara
Indonesia-kah The Atlantis itu?
Atlantis adalah misteri yang menggoda
para ilmuwan, dan kaum spritualis untuk menelisik kembali peradaban maju
manusia yang, konon, hilang. Setidaknya, ribuan buku telah ditulis
ihwal legenda itu.
Pada mulanya adalah Plato (427-347 SM), filsuf Yunani, mencatat cerita soal benua hilang itu dalam dua karyanya, Timaeus dan Critias.
Keduanya adalah karya terakhir Plato, yang ditulis pada 347 SM. Pada
tahun yg sama pula Plato meninggal. Dikisahkan di kedua karya itu,
Atlantis adalah kota dengan peradaban tinggi dan teknologi sangat maju.
Atlantis, kata Plato, punya kekuatan maritim dahsyat, dan berada di depan “Pilar-pilar Hercules.”
Tanahnya subur, rakyatnya makmur. Dia semacam surga di bumi, yang
wilayahnya meliputi barat Eropa hingga Afrika. Plato mengatakan,
Atlantis hadir sekitar 9.000 tahun sebelum mazhab Solon, atau 9.600 tahun sebelum zaman Plato hidup.
Kejayaan Atlantis, kata Plato, mulai pudar setelah gagal menguasai Athena,
negeri para dewa dan dewi. Petaka menimpa Atlantis sehingga pulau itu
hilang ditelan laut dalam hitungan hari. Para penghuni yang selamat
pergi mencari tempat baru. Atlantis akhirnya menjadi “surga yang hilang.”
Memang, banyak orang ragu pada cerita Plato yang mirip dongeng itu. Tapi, seperti dijelaskan Alan Cameron dalam buku “Greek Mythography in the Roman World”
terbitan Oxford (2004), mitologi adalah tiang bagi budaya elit bangsa
Yunani. Meski banyak yang meragukan kebenarannya, tapi kisah itu bisa
jadi refleksi peristiwa tertentu di masa lalu.
Atlantis, misalnya, menjadi diskusi menarik setelah Zaman Pencerahan.
Ada bantahan, parodi, hingga penjelasan ilmiah. “Tampaknya hanya di
zaman modern orang-orang menganggap serius kisah Atlantis,” tulis
Cameron.
Ada yang menyebut cerita itu diilhami kisah masa lalu, seperti letusan Gunung Thera atau Perang Troya. Atau simak juga klaim bahwa Plato terilhami sejumlah peristiwa kontemporer di masanya, seperti runtuhnya dinasti Helike pada 373 SM. Atau, gagalnya invasi militer Athena atas Pulau Sisilia pada perang tahun 415-413 SM.
Di awal peradaban moderen, kisah Atlantis
itu dihidupkan kembali oleh para penulis aliran humanis di era
Renaissance Eropa. Salah satunya Francis Bacon, yang menerbitkan esei berjudul “New Atlantis” pada 1627.
Dalam tulisannya, Bacon melihat Atlantis sebagai suatu masyarakat utopis yang dia sebut Bensalem. Letaknya di pesisir barat benua Amerika. Penulis lain tak mau kalah. Olaus Rudbeck, melalui tulisannya pada 1679, beranggapan Atlantis berada di negara kelahirannya, Swedia. Negara itu disebut Rudbeck sebagai awal lahirnya peradaban, termasuk bahasa.
Ilmuwan kenamaan Inggris, Sir Isaac Newton pun unjuk pendapat. Pada 1728, penemu teori gravitasi itu menerbitkan karya berjudul “The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended.” Newton juga penasaran mempelajari penjelasan mitologis terkait Atlantis.
Meski tak menyinggung khusus Atlantis,
Newton memaparkan peristiwa bersejarah di sejumlah tempat, yang punya
masa gemilang mirip Atlantis versi Plato. Misalnya, kejayaan Abad
Yunani Kuno, Kekaisaran Mesir, Asuriah, Babilonia, Kuil Salomo, dan
Kerajaan Persia.
Mitologi Atlantis juga membuat rezim Nazi di Jerman terusik. Pada 1938, seorang pejabat tinggi polisi khusus Nazi, Heinrich Himmler,
kabarnya membentuk tim ekspedisi ke Tibet. Soalnya, ada cerita Atlantis
itu dibangun bangsa Arya, nenek moyang orang-orang Jerman. Misi itu
gagal. Keyakinan Nazi itu belakangan diragukan sejumlah ilmuwan.
Jejak di Nusantara
Perburuan, dan spekulasi keberadaan
Atlantis terus dicari sepanjang zaman. Sejumlah karya lahir, dan
menunjukkan daerah tertentu diduga bagian dari ‘Kejayaan yang Tenggelam‘ itu.
Indonesia juga masuk dalam daftar spekulasi para peneliti dan peminat mitologi Atlantis. Misalnya, Profesor Arysio Santos dari Brazil. Dia geolog dan fisikawan nuklir. Lalu, ada ahli genetika dari Oxford, Inggris, Profesor Stephen Oppenheimer. Keduanya menduga wilayah Indonesia memendam sisa-sisa ‘Surga Yang Hilang‘ itu.
Santos menampilkan peta wilayah Indonesia dalam bukunya yang terbit pada 2005, “Atlantis: The Lost Continent Finally Found.” Benua hilang itu kemungkinan berada di sebagian Indonesia dan Laut China Selatan, demikian keyakinan Santos.
Dalam karya itu, dia mengklaim telah
melakukan riset perbandingan, seperti kondisi wilayah, cuaca, potensi
sumber daya alam, gunung berapi, dan pola hidup masyarakat setempat.
Dalam buku itu, dia berhipotesis, wilayah
Nusantara dulunya adalah Atlantis. Bagi Santos, indikasi itu antara
lain soal luas wilayah.
Seperti dikatakan Plato, Atlantis “lebih
besar dari gabungan Libya (Afrika Utara) dan Asia (Minor)”. Indonesia,
oleh Santos, dianggap cocok dengan karakter geografi itu.
Santos di laman YouTube, menampilkan dia tak ragu bahwa Atlantis benar-benar ada, dan bukan sekedar mitos.
Santos menjelaskan mengapa selama ini para ilmuwan gagal menemukan Atlantis, dan ragu akan keberadaan kota yang hilang itu. “Karena mereka mencarinya di tempat yang salah. Mereka mencarinya di Laut Atlantis,” kata dia dalam wawancara di YouTube, seperti dimuat laman Hubpages.
Anggapan Atlantis berada di Samudera Atlantis, memang logis. Namun, itu bukan lokasi yang tepat. “Atlantis berada di Lautan Hindia [Indonesia], di belahan lain bumi,” kata dia.
Di belahan bumi timur itulah, peradaban
bermula. Namun, kata dia, Samudera Hindia atau Laut China Selatan
sebagai lokasi Atlantis hanya batasan. “Lebih pastinya di Indonesia,” lanjut Santos.
Sebelum zaman es berakhir 30.000 sampai
11.000 tahun lalu, di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu
permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini. Di lokasi
itulah tempat adanya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara,
Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es.
Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia
dianggap sebagai puncak gunung, dan dataran tinggi dari suatu benua yang
tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan amblesnya dataran
rendah di akhir Masa Es Pleistocene. Itu terjadi sekitar 11.600 tahun lampau.
“Itu adalah rentang waktu sama dengan dipaparkan Plato dalam dialog ciptaannya saat menyinggung Atlantis,” tulis Santos pada bagian pendahuluan di bukunya.
Berbeda dengan keyakinan para
peneliti sebelum atau pada generasi Santos, dia pun optimistis bahwa
Indonesia, yang disebut sebagai bekas peninggalan Atlantis, menjadi
cikal bakal lahirnya sejumlah peradaban kuno.
Para penghuni wilayah yang selamat
dari naiknya permukaan air laut dan letusan gunung berapi akhirnya
berpencar mencari tempat-tempat. Mereka “pindah ke wilayah-wilayah yang
kini disebut India, Asia Tenggara, China, Polynesia, Amerika, dan Timur
Dekat,” tulis Santos.
Penjelasan serupa juga dikemukakan penulis asal Inggris, Stephen Oppenheimer, dalam buku “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia”
(1998). Dia menulis suatu benua yang tenggelam akibat banjir bandang,
dan naiknya permukaan air laut sekitar 7.000 hingga 14.000 tahun yang
lampau.
Wilayah yang tenggelam itu berada di wilayah yang kini disebut sebagai Asia Tenggara.
Oppenheimer menyebut benua tenggelam itu sebagai Sundaland. Para penghuni yang selamat saat itu lalu menyebar ke berbagai tempat hingga ke Eropa, membawa budaya dan pola hidup mereka.
Itu sebabnya Oppenheimer berasumsi asal-usul ras Euroasia di Eropa bisa ditelusuri di Asia.
Oppenheimer pun yakin bahwa para penghuni Sundaland saat itu punya peradaban maju dari wilayah-wilayah lain. “Mereka
sudah mengembangkan pola menyambung hidup, dari sekadar berburu
binatang menjadi bertani, berkebun, mencari ikan, bahkan perdagangan
melintas laut. Semua itu sudah dilakukan sebelum 5.000 tahun yang lampau,” demikian penggalan asumsi dari Oppenheimer.
Sejarah selama ini mencatat induk
peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania dan
Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sundaland, atau Indonesia.
Apa buktinya? “Peradaban agrikultur
Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata
Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya di Jakarta, Oktober 2010. Tentu,
pendapat ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Universitas Oxford
itu, memberi paradigma berbeda dari yang ada selama ini bahwa peradaban
paling awal berasal dari Barat.
Berbeda dengan Santos, Oppenheimer tak
langsung menyimpulkan Sundaland adalah Atlantis. Dia sendiri mengakui
butuh penelitian lebih lanjut, dan berharap ada kerjasama dengan
peneliti di Indonesia, untuk menjelaskan Sundaland adalah Surga yang
Tenggelam itu. Tapi, Oppenheimer meyakini Sundaland di wilayah Nusantara
itu punya peradaban sangat maju di masanya.
Ilmu semu?
Pendapat Santos dan Oppenheimer mengenai
jejak Atlantis dan Indonesia sebagai bekas pusat peradaban itu di satu
sisi mengundang pesona. Tapi tak semua pihak percaya atas klaim itu.
Menariknya, justru ilmuwan Indonesia sendiri mengkritik pandangan dua
pengamat asing itu.
Profesor Riset Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, meragukan cerita Atlantis itu. Bagi Djamaluddin, kisah Atlantis itu hanya sekadar cerita, dengan nilai ilmiah yang minim.
Dengan kata lain, penjelasan Atlantis yang dilontarkan para peneliti selama ini masuk dalam pseudosains, atau ilmu semu. “Ini bukan ilmiah. Ini pseudosains. Antara cerita dengan fakta ilmiah itu bercampur di sana,” kata ilmuwan Indonesia, Thomas Djamaluddin, dalam perbincangan beberapa waktu lalu.
Tapi kata Djamaluddin, Atlantis tak lebih dari sekadar cerita karangan Plato yang melegenda. “Kalau itu dijadikan fakta ilmiah sejarah geologi, Plato itu hanya berdasarkan pemahaman dia. Plato tak menyebutkan data,” jelas Djamaluddin.
Peneliti lulusan lulusan Kyoto
University, Jepang, itu juga menilai sejarah geologi tak memperlihatkan
Indonesia adalah Atlantis. “Tulisan sejenis Santos ini sudah beredar lama. Itu hanya dugaan saja,” ujarnya.
Bantahan lain, misalnya datang dari geolog senior dari BP Migas, Awang Satyana.
Dalam satu acara bedah buku Santos, sekitar dua tahun silam, Awang
mengatakan Santos tak mengajukan bukti dan argumentasi geologi.
Sundaland, kata Awang, adalah paparan
benua stabil yang tenggelam 15.000 – 11.000 tahun lalu oleh proses
deglasiasi akibat siklus perubahan iklim. “Bukan oleh erupsi volkanik. Erupsi supervolcano justru akan menyebabkan musim dingin dalam jangka panjang,” ujar Awang.
Bahkan soal migrasi manusia Sundaland ke
sekujur bumi, kata Awang, berlawanan dengan bukti penelitian migrasi
manusia modern secara biomolekuler.
Pakar geologi dari Universitas Padjajaran, Oki Oktariadi, mengingatkan dugaan lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia. Ada banyak wilayah seperti Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, dan lain-lain.
“Hasil penelitian terbaru oleh Kimura’s (2007) menemukan beberapa monumen batu di bawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria,” demikian paparan Oktariadi dalam makalahnya yang berjudul “Benarkah Sundaland itu Atlantis yang Hilang?“
Walau kebenarannya masih diragukan, bagi
Oktariadi, penelitian itu punya nilai positif bagi Indonesia.
Setidaknya, negeri ini lebih dikenal di dunia internasional, khususnya
di antara para peneliti di berbagai bidang. “Pemerintah Indonesia perlu
menangkap peluang ini,” tulis Oktariadi.
*