Pulau Sumatera secara geografis terletak
di posisi yang sangat strategis bagi jalur migrasi fauna dan manusia
pada zaman Pleistosen. Namun, di pulau ini jejak manusia purba yang
mampu bertahan hidup di zaman es masih menjadi teka-teki.
Dari Padang Bindu, Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan, desa terakhir yang bisa dicapai
dengan kendaraan, sekelompok ilmuwan dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional berjalan kaki menuju perbukitan karst.
Mereka harus melalui jembatan gantung
menyeberangi Sungai Ogan, menembus hutan lebat dan mendaki bukit terjal
untuk sampai Goa Harimau, situs purbakala yang digali sejak 2010.
Di goa itu, tim peneliti yang berjumlah
12 orang mencoba mengumpulkan jejak hunian purba sejak masa
60.000-10.000 tahun lalu, hingga masa yang lebih tua, yaitu zaman es.
“Kami terus mencari untuk mengisi kekosongan data di Sumatera,” kata
Wahyu Saptomo, salah satu peneliti.
Dibandingkan wilayah Indonesia lain,
jejak hunian manusia purba di Sumatera termasuk paling muda, rata-rata
berusia di bawah 10.000 tahun lalu. Peneliti belum menemukan jejak
hunian manusia modern (Homo sapiens) di Sumatera yang hidup 60.000-10.000 tahun lalu.
Antara 60.000 dan 10.000 tahun lalu, Bumi dihuni manusia dari jenis Homo sapiens alias “manusia modern”. Sebelum masa itu, Bumi dihuni oleh manusia dari jenis Pythecantropus erectus atau Homo erectus yang masanya terentang antara 1,5 juta dan 100.000 tahun lalu.
Beberapa jejak hunian prasejarah yang
berusia sekitar 10.000 tahun ditemukan di pesisir timur Sumatera Utara
hingga ke Aceh, Nias, dan Tianko Panjang. Temuan goa di daerah Padang
Bindu, seperti Goa Putri, Goa Silabe, Goa Pandan, dan Goa Akar, berusia
lebih muda, 9.000-2.000 tahun lalu, menandakan peradaban manusia modern
awal.
“Ada garis yang terputus. Di Sumatera,
kita hanya menemukan ‘manusia modern kemudian’, tetapi belum menemukan
‘manusia modern awal’. Ini menjadi tanda tanya besar di kalangan
peneliti. Apakah pada masa itu Sumatera tidak berpenghuni?” kata Wahyu.
Goa Harimau menarik perhatian karena
berdekatan dengan sungai. Di pinggir sungai, menurut Wahyu, ditemukan
sejumlah benda pada masa kebudayaan paleolitik, seperti kerakal yang dipangkas sederhana untuk mendapatkan tajaman, yaitu kapak genggam.
Sungai menjadi bagian vital manusia
prasejarah. Pada masa kehidupan tertua, manusia bergantung pada
ketersediaan pangan dari lingkungan sekitarnya. Tahapan berikutnya,
yaitu masa kebudayaan neolitik, manusia mulai mengolah sumber daya
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Di Goa Harimau, peneliti menemukan areal
kubur dan berbagai temuan logam dan tembikar. Didapatkan 35 orang dewasa
dan anak-anak yang dikubur tunggal ataupun bersama- sama. Di goa juga
ditemukan lukisan dinding yang menjadi temuan pertama. Selama ini,
Sumatera dianggap tidak memiliki peninggalan prasejarah berbentuk
lukisan goa.
Menurut Wahyu, temuan di Goa Harimau
merupakan jejak manusia modern Austronesia yang hidup 4.000 tahun lalu.
Setelah memindahkan temuan dan membuat cetakan hasil temuan, para
peneliti tetap menggali untuk mencari hunian tertua pada masa kehidupan Homo erectus.
Spesies penting
Homo erectus menduduki posisi penting dalam evolusi manusia karena merupakan pendahulu langsung dari Homo sapiens (manusia modern) saat ini.
Menurut Harry Widianto dari Balai
Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, dalam jalur proses evolusi,
Homo erectus dikenal memiliki perkembangan kebudayaan yang pesat.
Manusia ini merupakan pencipta dan
pengguna alat batu yang andal. Mereka mengembangkan teknologi tertentu,
seperti kapak genggam.
Homo erectus juga memiliki
ketangguhan dalam beradaptasi dengan alam. Mereka merupakan spesies
pertama yang meninggalkan tempat leluhur mereka di Afrika 1,8 juta tahun
lalu. Mereka mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim di dunia, mulai
dari iklim dingin di Eropa hingga iklim panas di sepanjang
khatulistiwa.
Homo erectus bermigrasi melalui
“jembatan darat” yang terbentuk karena menyusutnya air laut. Penyusutan
ini menghilangkan Laut China Selatan dan Laut Jawa sehingga dasar laut
menjadi lembah.
Lembah itu yang menjadi jalur migrasi Homo erectus
ke Indonesia. “Mereka tidak melalui Pulau Sumatera dan Kalimantan
karena pada masa itu kedua pulau tersebut merupakan dataran tinggi,”
kata Harry.
Di Indonesia, Homo erectus hanya
ditemukan di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena Pulau Jawa merupakan
‘jalan buntu’ bagi manusia untuk bermigrasi ke arah timur.
Di sebelah timur, Homo erectus
dihadang oleh palung antara Bali dan Lombok yang dalamnya mencapai 8.000
meter dan masih berupa lautan. Sementara Sumatera masih berupa dataran
tinggi yang sulit didaki. Saat ini, peneliti terus mencari jejak untuk
menemukan hunian tertua manusia itu. (icc.wp)