Tulisan seorang teman di facebook mengingatkanku tentang peristiwa Tragedi Mandor yang nyaris terlupakan di dalam sejarah perjuangan Indonesia. Inilah kutipan selengkapnya :
Kalimantan Barat, Desa Mandor, hari ini tgl 28 Juni, 67 tahun silam………..
Terjadi salah satu Kejahatan terkeji di muka bumi yg dilakukan oleh manusia terhadap manusia. Kejahatan itu telah memutus satu generasi putra putri Kalimantan Barat. Dibawah pimpinan Letnan Jenderal Tadashige Daigo membantai 50.000 putra putri terbaik, para Raja, Cendikiawan, dan Tokoh2 Masyarakat. Mereka dipancung dan dimasukkan ke dalam satu lubang sehingga menyerupai bukit kematian.
Saat ini monumen pembantaian itu masih tegak kokoh berdiri. Bukan untuk tenggelam ke masa kelam, tapi sebagai cambuk dan penyemangat yg bergelora di dada seluruh putra putri Kalimantan Barat, membangun bumi khatulistiwa tercinta.. (Yuri Antariksa)
Dan mari kita ingat kembali peristiwa itu :
MENGENANG PERISTIWA MANDOR DI KALIMANTAN BARAT
Kalimantan Barat atau West Borneo pernah mengalami masa-masa kelam saat pendudukan jepang melalui serangkaian peristiwa berdarah yang melenyapkan satu generasi intelektual, tokoh-tokoh penting dan kharismatik sampai orang-orang biasa.
Tentara pendudukan Jepang melakukan pembantaian massal di Kalbar terhadap kalangan feodal lokal, cerdik pandai, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama.
Lokasi daerah Kecamatan Mandor, Kalimantan Barat
Peristiwa yang dicatat sebagai sejarah paling kelam dan tragis bagi
masyarakat Kalimantan barat meninggalkan kenangan dan luka yang mendalam
bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan karena orang-orang yang mereka
kasihi direnggut secara paksa dengan cara yang dengan tepat melukiskan
betapa fasisnya penjajah jepang waktu itu.Peristiwa yang terjadi pada tahun 1943-1944 dikenal sebagai peristiwa Mandor karena lokasinya tepat terletak di daerah Mandor yang sekarang masuk dalam wilayah kabupaten Landak. Jumlah korban yang sebenarnya tidak pernah terungkap sampai saat ini, namun diperkirakan korban peristiwa tersebut sebanyak 21.037 jiwa dengan target sebanyak 50.000 jiwa, berdasarkan pengakuan Kiyotada Takahashi seorang turis Jepang yang berkunjung ke Kalbar 2-122 Maret 1977. Ia merupakan mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak yang saat berkunjung tersebut Takahashi berprofesi sebagai Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.
Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator).
Nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan korban yang mati secara tragis karena diculik dari rumah mereka kemudian dibantai oleh tentara jepang dilokasi yang sekarang ditandai dengan dibangun sebuah monument yang dihiasi relief-relief untuk menggambarkan bagaimana proses penculikan sampai pembantaian terjadi.
Banyaknya korban dan kekejaman tiada tara dikemudian hari dapat disaksikan melalui tulang-belulang yang berserakan dilokasi tersebut, tengkorak-tengkorak kepala yang terlepas dari raganya dapat melukiskan bagaimana nyawa-nyawa mereka berakhir diujung samurai. Bahkan saking banyaknya korban yang harus dieksekusi, dilokasi tersebut beberapa saat yang lalu sering ditemukan patahan-patahan samurai.
Pada dasarnya bahwa tentara pendudukan jepang sengaja melakukan tindakan-tindakan biadap tersebut guna memberangus dan mematahkan semangat dan perlawanan masyarakat Kalimantan barat terhadap jepang. Penangkapan dilakukan dalam beberapa tahap, Pada awal pendudukan Jepang, tulis Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang di Banjarmasin.
Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo. Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga. Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir, seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut amir, Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli-Agustus 1943.
Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak.
Waktu itu, demikian Iseki dalam bukunya, dilakukan pengadilan kilat terhadap 48 tokoh. Hari itu pula, para perintis kemerdekaan itu divonis hukuman mati dan langsung ditembak saat itu. Tawanan yang lain, yang berjumlah sedikitnya 1.000 orang papar Iseki, dipancung dengan samurai tanpa diadili. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator).
Bagaimana mencekam dan menakutkan situasi ketika peristiwa tersebut terjadi dapat kita gambarkan melalui berbagai kesaksian baik dari korban yang lolos maupun dari keluarga korban atau para saksi mata dan pelaku sejarah.
Tajima (Prajurit Kompetai Jepang) :
“saya angkat bedil serta bayonet dengan tangen yang gemetar dan dengan tuntunan sumpah serapah sang letnan yang hampir histeris. Saya jalan perlahan lahan ke pria cina yang berdiri dengan muka ketakutan di samping lubang mayat, liang kubur yang ia bantu ketika menggalinya. Dalam hati saya meminta maaf kepadanya, dengan mata dipejamkan dan sumpah serapah letnan di kuping saya, saya menancapkan bayonet tersebut ke tubuh pria tersebut yang menjadi tegan itu. Waktu saya membuka mata saya, saya melihat pria itu jatuh perlahan ke liang kuburnya. Pembunuh kriminal, begitu saya memanggil diri saya”
Takahashi
“Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ucap Kiyotada Takahashi.
Lim Bak Djue atau Djuanda Rimbawidjaja :
“Dari orang Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarga kami paling banyak,” ujarnya. Tak tanggung-tanggung, 8 anggota keluarga besarnya dibantai tentara Jepang masa itu.
Sultan Syarif Abubakar :
Sejak awal April, pemerintah Jepang di Pontianak mendengar isu akan adanya pemberontakan. Suasana kota Pontianak pun menjadi tegang. Rupanya ada yang memanfaatkan situasi itu untuk memancing di air keruh, tiba-tiba Jepang mencurigai keluarga Sultan Muhammad Alkadrie yang akan menjadi otak pemberontakan.
Hari itu ribuan balatentara Jepang mengadakan operasi kilat penangkapan orang-orang yang dicurigai. Dengan membabi buta setiap orang yang dianggap mempunyai intelektualitas –terutama para ulama—ditangkapi. Sultan Muhammad sendiri bersama para punggawanya “dijemput” paksa balatentara Jepang dari istananya.
Dengan disaksikan istri, anak cucu, punggawa dan sebagian rakyatnya, raja yang ahli ibadah itu dirantai dan kepalanya ditutupi kain hitam, sebelum dibawa pergi. Yang mengharukan, sebelum dibawa pergi Sultan Muhammad Alkadrie memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya seraya bertakbir.
Rombongan pembesar kerajaan lalu dibawa ke depan markas Jepang di sisi lain sungai Kapuas (sekarang menjadi markas Korem). Di tempat itu satu persatu kepala mereka dipenggal, kemudian dimasukkan ke truk dan dibawa pergi entah kemana. Beruntung, tujuh bulan kemudian –setelah Jepang sudah angkat kaki– jasad Sultan Muhammad Alkadrie berhasil ditemukan di Krekot. Penemuan itu sendiri berkat laporan salah seorang penggali lubang makam yang berhasil lolos dari pembantaian serdadu Jepang.
Dan sungguh menakjubkan, meski sudah tujuh bulan terkubur, saat digali kembali, jasad sultan yang shalih itu masih utuh seperti orang yang baru saja meninggal dunia. Bahkan, menurut kesaksian para penggali, pakaian dan tasbihnya pun masih tampak bagus. Jasad Sultan Muhammad Alkadrie kemudian dimakamkan kembali
di makam para sultan Pontianak di Batulayang.
Peristiwa yang dicatat sebagai sejarah paling kelam dan tragis bagi masyarakat Kalimantan barat meninggalkan kenangan dan luka yang mendalam bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan karena orang-orang yang mereka kasihi direnggut secara paksa dengan cara yang dengan tepat melukiskan betapa fasisnya penjajah jepang waktu itu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1943-1944 dikenal sebagai peristiwa mandor karena lokasinya tepat terletak didaerah mandor yang sekarang masuk dalam wilayah kabupaten landak. Jumlah korban yang sebenarnya tidak pernah terungkap sampai saat ini, namun diperkirakan korban peristiwa tersebut sebanyak 21.037 jiwa dengan target sebanyak 50.000 jiiwa, berdasarkan pengakuan Kiyotada Takahashi seorang turis Jepang yang berkunjung ke Kalbar 2-122 Maret 1977. Ia merupakan mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak yang saat berkunjung tersebut Takahashi berprofesi sebagai Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.
Menurut informasi dari bukti sejarah yang masih tersisa yaitu Surat Kabar Borneo Sinbun terbitan 1 Juli 1944, disebutkan ada sekitar 48 tokoh-tokoh yang disebut sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Kalimantan Barat. Pada tanggal 28 Juni 1944, kesemua tokoh-tokoh tersebut beserta sanak keluarganya ikut dibawa ke suatu tempat yang sampai saat ini belum diketahui persis dimana dan dihukum mati dengan ditembak. lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator).
Nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan korban yang mati secara tragis karena diculik dari rumah mereka kemudian dibantai oleh tentara jepang dilokasi yang sekarang ditandai dengan dibangun sebuah monument yang dihiasi relief-relief untuk menggambarkan bagaimana proses penculikan sampai pembantaian terjadi. Banyaknya korban dan kekejaman tiada tara dikemudian hari dapat disaksikan melalui tulang-belulang yang berserakan dilokasi tersebut, tengkorak-tengkorak kepala yang terlepas dari raganya dapat melukiskan bagaimana nyawa-nyawa mereka berakhir diujung samurai. Bahkan saking banyaknya korban yang harus dieksekusi, dilokasi tersebut beberapa saat yang lalu sering ditemukan patahan-patahan samurai. Pada dasarnya bahwa tentara pendudukan jepang sengaja melakukan tindakan-tindakan biadap tersebut guna memberangus dan mematahkan semangat dan perlawanan masyarakat Kalimantan barat terhadap jepang. Penangkapan dilakukan dalam beberapa tahap, Pada awal pendudukan Jepang, tulis Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang di Banjarmasin. Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo. Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga. Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir, seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut amir, Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli-Agustus 1943.
Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak. Waktu itu, demikian Iseki dalam bukunya, dilakukan pengadilan kilat terhadap 48 tokoh. Hari itu pula, para perintis kemerdekaan itu divonis hukuman mati dan langsung ditembak saat itu. Tawanan yang lain, yang berjumlah sedikitnya 1.000 orang papar Iseki, dipancung dengan samurai tanpa diadili. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator).
Bagaimana mencekam dan menakutkan situasi ketika peristiwa tersebut terjadi dapat kita gambarkan melalui berbagai kesaksian baik dari korban yang lolos maupun dari keluarga korban atau para saksi mata dan pelaku sejarah.
Tajima (Prajurit Kompetai Jepang)
"saya angkat bedil serta bayonet dengan tangen yang gemetar dan dengan tuntunan sumpah serapah sang letnan yang hampir histeris. saya jalan perlahan lahan ke pria cina yang berdiri dengan muka ketakutan di samping lubang mayat,liang kubur yang ia bantu ketika menggalinya. Dalam hati saya meminta maaf kepadanya,dengan mata dipejamkan dan sumpah serapah letnan di kuping saya,saya menancapkan bayonet tersebut ke tubuh pria tersebut yang menjadi tegan itu. Waktu saya membuka mata saya,saya melihat pria itu jatuh perlahan ke liang kuburnya. Pembunuh kriminal,begitu saya memanggil diri saya"
Takahashi
“Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ucap Kiyotada Takahashi.
Lim Bak Djue atau Djuanda Rimbawidjaja. “Dari orang Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarga kami paling banyak,” ujarnya. Tak tanggung-tanggung, 8 anggota keluarga besarnya dibantai tentara Jepang masa itu.
Sultan Syarif Abubakar
Sejak awal April, pemerintah Jepang di Pontianak mendengar isu akan adanya pemberontakan. Suasana kota Pontianak pun menjadi tegang. Rupanya ada yang memanfaatkan situasi itu untuk memancing di air keruh, tiba-tiba Jepang mencurigai keluarga Sultan Muhammad Alkadrie yang akan menjadi otak pemberontakan.
Hari itu ribuan balatentara Jepang mengadakan operasi kilat penangkapan orang-orang yang dicurigai. Dengan membabi buta setiap orang yang dianggap mempunyai intelektualitas –terutama para ulama—ditangkap. Sultan Muhammad sendiri bersama para punggawanya “dijemput” paksa balatentara Jepang dari istananya.
Dengan disaksikan istri, anak cucu, punggawa dan sebagian rakyatnya, raja yang ahli ibadah itu dirantai dan kepalanya ditutupi kain hitam, sebelum dibawa pergi. Yang mengharukan, sebelum dibawa pergi Sultan Muhammad Alkadrie memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya seraya bertakbir.
Rombongan pembesar kerajaan lalu dibawa ke depan markas Jepang di sisi lain sungai Kapuas (sekarang menjadi markas Korem). Di tempat itu satu persatu kepala mereka dipenggal, kemudian dimasukkan ke truk dan dibawa pergi entah kemana. Beruntung, tujuh bulan kemudian –setelah Jepang sudah angkat kaki-- jasad Sultan Muhammad Alkadrie berhasil ditemukan di Krekot. Penemuan itu sendiri berkat laporan salah seorang penggali lubang makam yang berhasil lolos dari pembantaian serdadu Jepang.
Dan sungguh menakjubkan, meski sudah tujuh bulan terkubur, saat digali kembali, jasad sultan yang shalih itu masih utuh seperti orang yang baru saja meninggal dunia. Bahkan, menurut kesaksian para penggali, pakaian dan tasbihnya pun masih tampak bagus. Jasad Sultan Muhammad Alkadrie kemudian dimakamkan kembali di makam para sultan Pontianak di Batulayang.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Juni 1977 pemerintah daerah Kalimantan Barat meresmikan sebuah monumen perjuangan yang diberi nama Makam Juang Mandor. Monumen ini dibuat sebagai salah satu bentuk pengabdian pemerintah daerah Kalimantan Barat terhadap jasa-jasa para pahlawan daerahnya. Selain itu agar dapat menjadi cerminan generasi muda saat ini mengenai nilai-nilai kepahlawanan dan patriotik yang jika diperhatikan lambat laun semakin sirna seiring dengan perkembangan jaman.
Jika kita lihat dalam agenda peringatan hari besar nasional, Tragedi Mandor Berdarah tidak masuk dalam daftar tersebut. Tidak tahu kenapa, apakah karena lokasinya yang terpencil atau karena jumlah korbannya yang masih kurang banyak sehingga tidak terdeteksi oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kalimantan Barat mengambil kebijakan yang menetapkan bahwa setiap tanggal 28 Juni akan diperingati sebagai Hari Berkabung Daerah dimana semua pihak diwajibkan untuk menaikkan bendera setengah tiang sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap para pahlawan daerah yang telah gugur. (Diambil dari berbagai sumber)